Chapter 19

2.4K 761 1.1K
                                    

Pikiran Anindita sepertinya kacau balau, setelah latihan, gadis itu langsung meminta maaf pada semuanya. Mereka juga meminta maaf. Alhasil Caraka hanya melihat pemandangan itu sambil geleng-geleng kepala karena melihat acara halal bihalal dadakan di studio. "Perasaan lebaran masih lama, udah pada balik sana. Istirahat, jangan keluyuran," pesannya yang langsung dibalas cengiran dari para personil lain.

Caraka mengunci studio sementara yang lain seperti biasa, sudah kembali ke sangkar masing-masing. "Mau ke mana?" dia menarik Anindita yang seperti ingin berlari seolah dia baru saja bertemu dengan hantu. "Aku antar kamu pulang." Yang tentunya tidak bisa ditolak Anindita.

"Maaf banget ya, aku lagi kacau, aku malah ngelampiasin ke mereka. Aduh, padahal aku cuma asisten tapi lagakku sok banget. Maaf dong." Anindita seperti tersadar dengan sikapnya. "Nggak-nggak lagi, deh."

"Justru itu, ngeliat kamu marah-marah, aku makin yakin kalau kamu emang partner yang paling cocok buat aku. Nikah aja kali ya kita?"

Eh?

Anindita mendelik mendengar ucapan Caraka sementara cowok itu terkekeh. Mereka berjalan menuju parkiran. Cowok itu membuka pintu mobil, mendorong bahu Anindita pelan untuk segera duduk sementara satu tangannya di atas kepala Anindita, melindunginya agar tidak terbentur. Setelah Anindita duduk manis, Caraka segera menyusul duduk di bangku kemudi. "Kacau kenapa, Nin? Ada masalah sama Janitra?"

"Nggak."

"Terus?"

"Kamu tahu Pak Anwar?"

Sepertinya bersama dengan Caraka, dia jadi menyerap kemampuan Caraka yang lain; pintar mengalihkan suasana.

"Satpam ekonomi, kan?" Lalu bergulirlah cerita dari Anindita tentang kabar Pak Anwar yang membuat Caraka terkejut karena bahkan dosen sama sekali tidak ada peduli dan menyinggungnya. "Aku punya sih sedikit tabungan, mungkin bisa bantu buat biaya terapi Pak Anwar, tapi kayaknya masih kurang. Aku kira-kira gajian di tanggal berapa?"

"Hm kalau mau ambil sekarang juga bisa."

"Tapi pasti masih belum cukup."

"Kamu tuh selalu gini ya? Mikirin orang lain?"

Anindita menoleh. "Mikirin orang lain gimana maksudnya? Pak Anwar tuh satpam di fakultas kita, dia yang setiap pagi rajin nyapa aku, bantu seberangin aku, bagi aku dia bukan orang lain."

"Nggak semua orang mikir gitu, Anin, lagipula itu kewajibannya sebagai satpam, kan? Cuma urusan pekerjaan."

Anindita teringat bahwa posisi Pak Anwar bahkan sudah digantikan oleh Pak Tio. Sedemikian cepatnya posisi pekerjaan itu diisi oleh orang lain. "Aku percaya kalau kita ketemu seseorang itu bukan karena kebetulan, bisa jadi kita dipertemukan sama seseorang karena Tuhan mau kita jadi perantara. Perantara apa? Mungkin perantara kebaikan yang dulu pernah Pak Anwar lakukan, kebaikan sedikit demi sedikit yang Pak Anwar lakukan sampai akhirnya bikin aku tergugah buat ngebantu Pak Anwar."

Caraka memalingkan wajahnya dari jalan ke wajah Anindita lalu menepuk pelan puncak kepala gadis itu yang langsung membuat Anindita menggigit bibir.

"Kalau gini caranya aku makin yakin perasaan aku ke kamu bukan beneran kagum, tapi udah tingkat Agape."

"Agape? Apaan tuh? Sejenis judi? Main gaplek?"

"Coba cari tahu, nanti kalau udah ketemu, kasih tahu aku."

****

Caraka

Nanti malem dateng ke Kafe Lotte, ya. Aspire bakal tampil di sana.

Anindita baru saja bangun setelah semalam tertidur nyenyak dan melihat pesan yang dikirim oleh Caraka. Hari itu tidak ada jadwal latihan. Gadis itu teringat dengan tugas-tugas yang belum sempat dia kerjakan. Alhasil Anindita membabi buta membuka buku, mencatat secara cepat sampai selesai.

Cita Cinta CarakaWhere stories live. Discover now