Chapter 14

2.5K 779 1.1K
                                    

Kepala Janitra masih terasa sakit dan berkunang-kunang ketika dia membuka mata. Hal terakhir yang dia ingat, dia mengonsumsi beberapa butir obat penenang agar rasa sedihnya membaik lalu tiba-tiba semuanya gelap. Dia tidak ingat hal selanjutnya. Lalu pagi ini dia terbangun sambil mencium aroma kloroform menusuk indera penciumannya dan melihat seorang gadis berambut pendek sebahu duduk di sampingnya. Melihat Anindita, Janitra seperti bertemu hantu. Gadis itu membuka matanya lebar. "Ngapain lo di sini?" tanyanya ketus.

"Ee—Kak Janitra udah bangun! Mau pipis, Kak?"

"Lo pikir gue bayi?"

"Mau minum?" Anindita cepat-cepat mengambil air minum yang sudah disediakan suster di samping ranjang. Gadis itu bersiap siaga, tapi bukannya menerima, Janitra mengempas gelas itu dengan keras sampai jatuh ke lantai. Gelas berubah menjadi serpihan kecil di lantai. Seorang suster tergopoh-gopoh menghampiri.

"M—maaf, Sus, tangan saya terpeleset," Anindita berujar begitu melihat wajah panik sangat suster. Dia berniat membersihkan.

"Ooh nggak apa, Mbak, jangan dipegang nanti tangannya terluka. Saya panggilkan OB dulu, ya." Suster tersebut kembali keluar.

"Ngapain lo di sini? Pasti lo sedih ya, kenapa gue nggak mati aja? Kenapa gue harus bangun? Itu kan mau, lo?" tanya Janitra dengan mulut pedasnya.

Padahal semalaman Anindita terjaga dari tidur karena takut sesuatu terjadi pada kakaknya di kala dia memejamkan mata, dia bahkan terbangun untuk salat malam untuk berdoa. Tapi kakaknya itu masih setia berburuk sangka. "Lo nggak usah sok baik depan gue, nggak guna. Pasang aja sikap lo itu ke orang lain, ke orang yang bisa mudah tertipu sama tabiat lo."

Tepat ketika keduanya bertengkar, Caraka muncul sambil membawa sarapan untuk Anindita. "Halo ... kenapa ini, ya? Kok hawanya panas?" banyol cowok itu.

"Aku pulang dulu, Kak, titip Kak Janitra ya." Anindita bergegas pergi begitu melihat ada seseorang yang bisa menjaga kakaknya.

"Titip-titip, lo kira gue bayi? Dengar ya Anindita, gue nggak butuh sikap sok peduli lo—"

"Tra, ini di rumah sakit lho. Nanti didengar sama orang lain, nggak enak." Caraka menasihati. "Kenapa, sih?"

"Kenapa dia yang di sini?"

"Tante Nia sama Om kan lagi di luar kota, tadi Tante Nia telepon gue, baru sampe Jakarta nanti siang. Nggak mungkin kan gue yang jaga di sini, gue cowok lho. Makanya Anindita yang jaga."

"Untung gue bisa bangun pagi ini, kalau sampe dia ngebunuh gue gimana? Nggak ada yang tahu tiba-tiba dia bekap mulut gue pake bantal."

"Kurang-kurangin deh lo nonton sinetron, Tra." Caraka geleng-geleng kepala lalu menarik kursi duduk di sebelah nakas. "Makan dulu aja," dia membuka plastic wrap yang menutupi bubur ayam, menuangkan sedikit kuah dan mengaduknya hingga tercampur. Dia menyuapi Janitra agar segera makan.

"Permisi Kak, sebentar saya sapu dulu ya." Seorang OB berseragam biru membuka pintu sambil membawa sapu dan serokan.

"Silakan, Mbak." Caraka berdiri sejenak, membiarkan bagian bawah kursi disapu. Setelah semuanya dibersihkan, OB tersebut pamit. Kembali membeli ruang untuk mereka berdua berbicara. "Waktu itu lo bilang ke gue, lo udah berhenti konsumsi obat penenang. Sekarang kenapa konsumsi lagi? Lo lagi ada masalah?"

"Gue ditipu sama Tita." Mendengar jawaban itu, tangan Caraka yang masih memegang sendok berhenti di udara. Janitra menurunkan tangan Caraka. "Dia ambil semua duit di online shop, semua modal yang mau gue pake ada di situ, ditambah lagi dia kongkalikong sama penjahit gue. Semuanya udah habis, riwayat gue udah tamat, Ka."

"Lo udah ke rumahnya?"

"Udah, rumahnya kosong, dia nitipin surat ke gue bilang kalau dia lagi butuh biaya buat pengobatan keluarganya. Gimana gue nggak stress? Usaha yang gue bangun bertahun-tahun hilang dalam sekejap. Gimana sama rencana baju yang bakal dipakai Aspire di Welcoming Party? Gue mau pake momen itu buat promosiin katalog terbaru gue."

Cita Cinta CarakaWhere stories live. Discover now