Issue 9 : Empty Space

608 78 3
                                    

Draco berjalan menyusuri lorong rumah sakit. Sudah dua hari lewat sejak kejadian penangkapan pengusaha bernama Tom Riddle, memakan banyak korban jiwa dari pihak WMI. Draco mendengar selentingan dari para petugas mereka bahwa itu setimpal dengan apa yang telah mereka dapatkan, menangkap seorang kriminal di bayar dengan sepuluh lebih nyawa manusia dan tambahan petugas  yang terluka.

Berdiri di depan sebuah pintu, Draco menarik napas dalam. Mempersiapkan diri untuk bertemu kembali dengan Harry, mengabaikan rasa sakit setelah di tinggalkan usai melakukan seks dan di bohongi, Draco merasa ia menjadi sedikit masokis.

Tangannya memutar gagang pintu, mendorongnya hingga memperlihatkan bagian dalam ruang rawat inap. Hanya sebuah ranjang kosong dengan selimut berantakan, tidak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Dua buah daun jendela terbuka lebar, Draco membawa tungkai kakinya mendekati jendela yang terbuka hingga membuat angin masuk menerbangkan tirai putih.

Di luar terdapat sebuah pohon setinggi bangunan lantai tiga, memiliki cabang batang lebar dan besar. Batang itu memiliki jarak satu meter dengan jendela tempat harusnya Harry di rawat, pria itu kabur, kemungkinan besar dia lewat sini. Draco mendesah lelah, merasa heran apakah pria mungil itu tidak bisa diam barang sebentar saja?

"Hei, apa yang kau lakukan di sana?!" Draco menolehkan kepalanya ke bawah jendela, mendapati seorang pria berkacamata bulat khas yang selalu menjadi trademark- nya, kening Draco mengernyit saat pria itu melambaikan tangannya.

Kemudian, dia memanjat pohon. Sangat lincah untuk ukuran manusia yang masih terluka, ingatkan Draco bahwa bagian belakang kepala pria itu bocor. Dia seperti seekor bajing, melompat dari satu dahan ke dahan lainnya. Begitu lincah, sampai Draco ragu bahwa orang ini sebenarnya tidak sakit.

Harry duduk di batang pohon sambil nyengir menunjukkan deretan gigi timun putih rapi miliknya, Draco memperhatikan orang itu dari atas sampai bawah. Beberapa bagian tubuhnya masih di perban, "apa kau tidak berniat menjelaskan sesuatu setelah meninggalkan partner seks mu, Potter?" Draco menempatkan dirinya bersandar pada kusen jendela, kedua tangan masuk ke dalam saku celana.

Harry mengangkat bahunya tak peduli, "aku tidak akan minta maaf untuk itu,"

Rasa sakit membuat hatinya menggelenyar, Harry tidak menunjukkan ekspresi bersalah. Begitu santai seolah memang itu adalah hal biasa.

"Jadi— kalimat Draco menggantung, matanya menatap penuh selidik pada dua giok yang terlihat pucat.

"Tidak ada penjelasan untuk itu, aku terikat misi."

"Yeah, kau dan misi mu untuk memanfaatkan orang lain."

Sejenak suasana menjadi hening, membiarkan hembusan angin melewati mereka. Menerbangkan dedaunan yang mulai mengering karena sebentar lagi memasuki musim gugur. "Soal kebohongan mu—

Harry menyela, "aku minta maaf untuk itu, memanfaatkan perasaanmu dan yah... Kau tau, itu pasti menyakitimu."

Draco mengangguk, "jelas sekali."

"Karena sudah seperti ini, hanya satu hal yang bisa ku katakan padamu, Draco." Harry menatap Draco lekat-lekat, sementara keadaan Draco sedang tak baik-baik saja saat ini. Jantungnya berdebar kencang, mengira-ngira apa yang akan Harry katakan selanjutnya.

"Lupakan saja, kau bisa mencari orang yang bisa mencintai mu dengan baik. Tidak seperti aku, di luar sana masih banyak orang yang bisa memberikan hatinya secara tulus." Tutur Harry, satu tangannya bersembunyi di belakang pinggang seperti sedang mencari-cari sesuatu di tas kecil berwarna hitam yang melingkar di pinggang kecil itu.

Draco tidak membuka mulut, napasnya tercekat. Ia tak suka ini, "jika, aku hanya menginginkan dirimu bagaimana?"

Harry merentangkan tali baja setebal dua senti, "jangan siksa dirimu dengan mencintaiku, kau tak pantas melakukan itu." Kemudian, ia mengikat tali tersebut di batang pohon, "pencarian dan penantian mu sia-sia, Malfoy. Jadi, lupakan saja dan hiduplah dengan benar. Selamat tinggal."

Tubuh Harry berayun turun dari atas pohon, kaki-kakinya menapak rumput. Draco memerhatikan, pria itu tak mendongak sekadar melihat Draco barang  sebentar. Harry berjalan lurus, pergi dan meninggalkan Draco lagi.

⌛⌛⌛

Jalanan selalu tampak ramai meski sudah memasuki musim dingin, Draco memandang lurus ke depan tanpa ekspresi. Menghitung berapa banyak mobil yang lewat, sendirian di depan sebuah kafe di temani segelas kopi hitam panas. Ia baru saja pulang dari kantornya setelah mengurus beberapa hal, jarum jam arlojinya menunjukkan pukul setengah tiga sore. Draco tidak memiliki kegiatan apapun, hatinya terasa hampa.

Hembusan napas yang beruap, Draco merasa kedinginan meski telah mengenakan pakaian tebal. Tubuhnya bersandar pada tiang lampu jalan, sekumpulan manusia berlalu-lalang dengan tujuan masing-masing.

Sebaiknya ia harus segera pulang, menelan tegukan terakhir cairan hitam yang sudah dingin kemudian Draco melemparkan bekas minumannya ke tempat sampah. Draco membawa langkahnya menuju tempat dimana mobilnya terparkir.

Draco menjalani hari-harinya sama seperti sebelum bertemu dengan Harry, mengabaikan bagaimana luka di hatinya yang menganga lebar. Bukankah sebelumnya memang seperti ini, berada dalam pencarian tanpa arti dan menyiksa diri sendiri dengan kerinduan yang bahkan orang yang ia rindukan tak merindukannya sama sekali. Emosinya tertahan, tak bisa meluap. Hanya mengendap dalam dada, menumpuk dan membuat rongga luka itu semakin melebar.

"Kau melamun lagi, Drake." Pansy berucap khawatir, Draco mengerjap sekali.

"Apa ada kabar?"

Pansy menggeleng lemah, "tidak ada yang tahu tentang itu, Drake."

"Sudah bertanya pada Greengrass dan Lovegood?"

"Sudah, mereka juga kehilangan Potter." Pansy merasa miris melihat Draco yang kini kehilangan semangat hidupnya, ia seperti terdampar di tengah lautan. Terombang-ambing tanpa ada yang menyelamatkan, Pansy tidak tahu sebesar apa cinta yang dimiliki sahabatnya itu untuk seorang Harry Potter. Satu hal yang tidak bisa dipastikan adalah, cinta milik Draco tak pernah bisa di kira atau di hitung. Meski sudah terluka, Draco berkeras diri untuk mencari kemana cintanya pergi.

Pansy sudah mendengar semuanya, setiap cerita tentang awal pertemuan Draco di hari dia melarikan diri. Bagaimana mereka menghabiskan waktu bersama dan berakhir di atas ranjang hangat dengan Draco yang di tinggalkan keesokan harinya. Jika Pansy berada di posisi Draco, mungkin ia akan membenci orang itu sampai ke tulang belulangnya. Seperti dia tak menghargai semua perjuangan dari penantian dan pencarian Draco selama bertahun-tahun.

"Aku bertanya pada Weasley sekitar dua Minggu setelah kejadian, dia masih berada di Inggris."

"Apa yang dia katakan?"

"Dia bilang, mungkin suatu hari Potter akan muncul kembali. Kau hanya perlu menunggu dengan sedikit lebih bersabar lagi, Harry Potter yang sekarang bukan dia yang kau kenal saat masih sekolah—

Itu juga jika kau masih mau menunggu, hati Potter mengeras. Itu yang di katakan Weasley." Tutup Pansy, pena di tangan Draco mengetuk-ngetuk bagian atas meja. Memandang pada sepasang kelam malam milik wanita berambut pendek sebatas leher, "aku akan selalu menunggunya, Pans." Sebuah senyum sakit terbersit dalam wajah penuh gurat lelah itu.

Jika ada kontes soal manusia setia dan sangat sabar. Mungkin, Draco akan meraih trofi juara pertama.



⌛⌛⌛

Bersambung

Sampai jumpa di Issue selanjutnya, terima kasih atas apresiasinya ❤️

Mille Fleur | DrarryWhere stories live. Discover now