tiga

1.3K 163 29
                                    

Komen yang banyak biar update tiap hari

____________________




Lijeong berhasil meraih tangan Lian kembali. Yang ditahan tangannya tidak berkutik, sampai Lijeong berkata akan mengantarkannya pulang. Hingga tangannya ditarik sampai di tempat Lijeong memakirkan kendaraannya pun Lian hanya diam saja.

"Gue hari ini pakai motor, ini helm lo aja yang pakai."

Lian kembali pasrah saat Lijeong memasangkan helm padanya. Jujur Lijeong merasa tidak nyaman. Lian bukanlah orang yang pendiam. Dia biasanya banyak berbicara, hampir tidak pernah diam jika sedang bersama Lijeong.

Lijeong mulai berpikir kalau penyebab dari berubahnya Lian adalah dirinya yang membiarkan perempuan itu menanggung semua beban sendiri.

Sepanjang perjalanan Lijeong terus berusaha mengajak Lian berbicara. Seharusnya dia cukup tahu diri dan tahu malu kepada Lian. Tetapi sikap diam Lian membuatnya sedikit khawatir.

"Udah makan??" tanya Lijeong saat memasuki komplek perumahan Lian. Seperti biasa, suasana disana cukup tenang. Orang-orang di komplek perumahan itu cenderung tidak bersosialisasi dengan orang-orang disekitar rumahnya.

"Lian??" yang dipanggil masih tidak mau mengeluarkan suara. Namun kali ini Lian bergerak, memeluk Lijeong dari belakang yang membuat darahnya berdesir. Sudah lama ia tidak merasakan pelukan itu.

Lijeong memarkirkan motornya tepat di depan pagar rumah Lian. Suasana rumah itu sedikit berbeda dari terakhir kali ia mendatanginya.

Lian turun dari sana, membuka helm yang ia kenakan lalu memberikan barang tersebut kepada pemiliknya kembali. Lian menatap tepat pada mata Lijeong beberapa detik sebelum beranjak dari sana untuk masuk kedalam pekarangan rumahnya.

Lijeong di atas motor miliknya hanya diam di sana memperhatikan Lian yang berjalan dengan gontai. Saat Lian hendak mencapai pintu utama rumahnya Lijeong turun dari motornya. Diperhatikannya Lian yang berdiam diri diambang pintu.

Dugaan Lijeong benar. Dia berlari kencang tepat saat Lian menjatuhkan diri ke lantai. Detik berikutnya ia mendengar Lian menangis sambil berteriak. Ia tidak tahu apa penyebab Lian sampai menangis seperti itu. Segera ia meraih tubuh Lian untuk ia bawa kedalam dekapannya.

Lian memang sedikit cengeng. Tapi ini pertama kalinya Lijeong melihat Lian menangis sejadi-jadinya begini.

Lijeong tidak berusaha mengeluarkan kalimat penenang untuk Lian. Ia takut itu akan membuat tangis Lian semakin menjadi-jadi.

Saat ia rasa tangis Lian mulai sedikit reda, Lijeong menggendong Lian menuju kamarnya. Saat sampai dikamar, Lijeong membaringkan Lian dengan hati-hati di atas kasurnya. Kamar itu tampak gelap dan dingin. Ia tidak menghidupkan lampu di kamar itu takut kalau mata Lian belum terbiasa dengan cahaya. Akhirnya ia hanya menghidupkan lampu tidur yang ada di atas nakas di sebelah tempat tidur Lian.

"Kak...." Lian menahan tangan Lijeong yang hendak berdiri dari posisi awalnya yang duduk. "Lian.... hahhh l-lian gak bisa...nafashh." lanjutnya sambil meremas kedua tangan Lijeong yang ia jadikan untuk bertumpu di kedua sisi tubuh Lian.

Lijeong merunduk, membuat agar wajahnya dekat dengan wajah Lian. Dapat ia rasakan kalau memang benar Lian bernafas dengan berat.

Segera Lijeong bangkit dari duduknya, membuka jendela kamar Lian agar udara yang masuk lebih banyak

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Segera Lijeong bangkit dari duduknya, membuka jendela kamar Lian agar udara yang masuk lebih banyak. Hari sudah semakin sore. Membuat Lijeong juga bertanya-tanya kemana perginya orang rumah hingga belum pulang jam segini.

"Kuat gak kalau duduk??" tanya Lijeong pada Lian yang tampak sudah sangat kelelahan.

Lian menggeleng pelan. Matanya pun ia rasa sudah tidak sanggup untuk terbuka. "Pusing..." jawabnya pelan.

Sejujurnya Lijeong mulai panik, namun ia berusaha untuk tetap tenang demi Lian.

"Pelan - pelan, nafas lewat mulut dulu." Lijeong merapikan rambut Lian yang basah karena keringat. Ia terus berusaha membantu Lian agar dapat bernafas kembali dengan normal.

Sampai pada akhirnya genggaman tangan Lian pada lengan Lijeong mengendur, Lijeong menempelkan keningnya pada kening milik Lian yang basah oleh keringat. Lijeong dapat bernafas dengan lega saat ia rasa Lian juga telah kembali bernafas dengan normal.

"Soal yang kamu bilang tadi." Lian membuka suara dan Lijeong masih dengan posisinya. Memejamkan mata mendengarkan suara Lian dengan kening mereka yang masih saling bertautan.

"Yang mana??? Yang 'kamu udah makan??'" Tanya Lijeong yang sudah menjauhkan keningnya dari kening Lian, namun masih dalam posisi wajah yang berjarak tidak sampai satu jengkal dari wajah Lian.

"Bukan....."
"Tapi soal kenapa gak di gugurin aja."

Tidak ada lagi yang berani bersuara. Keduanya terdiam cukup lama. Lian membuka mata dan berhasil bertemu tatap dengan Lijeong. Ia mengambil satu tangan Lijeong. Menuntun tangan itu untuk menyentuh perutnya yang sekarang terlihat jelas kalau disana ada sebuah kehidupan.

"Aku udah pernah nyoba, satu bulan yang lalu."

Tanpa diperintah, Lijeong mengelus pelan perut Lian.

"Sakit.... Sampai rasanya separuh nyawa aku ikut kecabut." Lijeong memilih diam, mencoba mendengarkan cerita Lian yang terdengar memilukan.

"Waktu itu aku berdarah banyak banget, tapi dia gak mau nyerah. Alam pun gak merestui dia pergi waktu itu, Kak Ji datang dan dia yang bawa aku ke rumah sakit."
"Beberapa kali aku berpikiran kalau dia gak mau pergi sendiri, berarti dia pengen aku juga ikut pergi."
"Tapi aku gak bisa..... karna kalau aku pergi, siapa yang bakal nyemangatin Munjung??"

Lian tidak sanggup lagi. Pada akhirnya ia kembali menangis. Namun kali ini tanpa suara. Hanya ada air mata yang mengalir dengan deras. Ia menangis sampai ia merasa benar-benar lelah dan tertidur.

Namun sebelum ia benar-benar kehilangan kesadarannya, Lian berpesan pada Lijeong agar mengambil sesuatu di dalam laci nakasnya sebelum nanti Lijeong memutuskan untuk pergi dari sana.

Saat ia rasa Lian sudah tertidur, Lijeong mulai membuka laci nakas mencoba mencari sesuatu yang di maksud Lian.

Tidak ada apapun di sana. Kecuali sebuah amplop berwarna coklat.

Lijeong membuka amplop tersebut, dan disana terdapat dua buah surat yang berlogo rumah sakit.

Lijeong dibuat merinding saat membaca isi surat itu yang keduanya merupakan akta kematian.












Panjang yah......



©Jiwoongitis

Baby [SELESAI] | Lee Jeonghyeon Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang