empat belas

720 127 7
                                    

Lian menunduk memandang jari-jarinya yang saling bertautan. Sesekali ia dapat mendengar helaan napas kasar dari Papa Lijeong yang duduk di sofa seberang meja.

Lian memberanikan diri mengangkat kepala. Matanya langsung bertubrukan dengan mata Papa yang memandang kearah dirinya dan Lijeong. Lian kembali menunduk. Tangannya tanpa sadar bergerak mengusap perutnya.

"Jadi kapan kalian mau nikah? Perutnya udah kelihatan jelas." setelah lama hanya diam Papa akhirnya membuka suara.

"Udah nikah kok." Papa tertawa tidak percaya sambil menepuk-nepuk pahanya. Lijeong benar-benar kurang ajar.

"Kuliah kamu gimana? Mau berhenti kuliah terus lanjutin cafe yang kamu buka bareng temen kamu itu??"

"Dua-duanya."

"Terus istri kamu itu ditinggal sendiri?"

Yang jelas Papa tahu mengenai keadaan keluarga Lian saat ini.

Lijeong mengangkat satu alisnya mendengar pertanyaan Papa. Sebelum menjawab pertanyaan Papa, Lijeong melirik Lian yang duduk di dampingnya. Satu tangan Lian diambil Lijeong dan diletakkan di atas paha laki-laki itu. Ibu jari Lijeong bergerak mengusap punggung tangan Lian.

"Iya."

"Gak bisa. Kalian pindah ke rumah ini."

"Gak mau." Lijeong langsung berdiri dari duduknya diikuti oleh Lian.

"Jeonghyeon pulang karena gak ada lagi yang perlu dibicarakan."

Lijeong menarik tangan Lian pergi dari sana. Baru beberapa langkah keduanya berhenti karena suara yang meningterupsi.

"Loh mau kemana?" Lijeong dan Lian berbalik. Lijeong dengan wajah datar menatap dingin wanita yang berdiri tidak jauh dari mereka. Jujur saja Lijeong membenci suara lembut wanita itu ketika sedang berbicara.

"Ayo makan dulu. Mama udah masak."

"Mama??" Lijeong dengan cepat memotong perkataan Mama.

Papa yang sadar akan hal itu dengan cepat menghentikan Lijeong yang hendak kembali berbicara. Ia berdiri dari duduk. Tangan Papa diam-diam memberi isyarat agar Lijeong berhenti sampai di sana ketika melihat Mama yang meremas ujung bajunya sendiri.

"Bawa Lian ke belakang duluan aja Ma. Papa masih mau ngomong sama Jeonghyeon."

Mama mendekati Lian dan menarik tangannya untuk ikut ke belakang meninggalkan Papa dan Lijeong diruang tamu. Keduanya berhenti di dekat meja makan. Mama mengambil beberapa lembar tisu di sana untuk menghapus keringat yang membasahi dahi Lian.

"Loh Abang? Tadi katanya mau pulang sore." Mama menyapa Taerae yang lewat di belakang mereka. Taerae dan Lian memandang satu sama lain karena mereka saling kenal tanpa pernah berbicara.

Taerae tidak menjawab pertanyaan Mama. Ia terpaku memandang Lian yang berdiri di samping Mama dengan perutnya yang buncit karena mengandung. Tanpa berbicara apapun Taerae pergi dari sana membuat Mama menggeleng sambil berdecak.

"A-nu tante... Boleh Lian duduk??" Mama menahan badan Lian yang tiba-tiba oleng. Ia membangu Lian duduk di kursi meja makan. Mama mengambil segelas air pada Lian dan membantunya untuk minum sebab Lian berkata tubuhnya terasa tidak menapak dan kepalanya yang pusing.

"Kamu darah rendah??" Lian mengangguk dengan pertanyaan Mama. Keduanya sama-sama kembali terdiam.

"Lian juga gak mau panggil Mama ya??"

Lian tidak tahu harus berkata apa. Ia takut wanita di hadapannya tersinggung karena sikap diam Lian. Dengan ragu Lian ingin membuka suara. Tapi kembali terhenti karena Mama yang berdiri dari duduknya.

Mama tersenyum sambil mengusap rambut Lian. Lian pun membalas senyum itu meski ia tahu kalau Mama sedih dengan hal barusan.

Baby [SELESAI] | Lee Jeonghyeon Where stories live. Discover now