10.

14.6K 1.8K 55
                                    




Tidak terpikirkan bagi Aresh bahwa akhir akhir ini, dia sangat bahagia. Dia menulis mata pelajarannya dengan penuh semangat.

Memandang guru yang sedang menulis dan menjelaskan sesuatu.

Walaupun di depan murid lain, wajah datar Aresh di tambah gesekan bolpoin dengan kertas itu membuat bunyi nyaring. Keringit sebesar biji jagubg muncul di kening mereka.

Sekelas hening.. Mereka tak ingin menganggu Aresh yang terlihat marah 'itu menurut mereka'.  Karena nyatanya, Aresh tengah bahagia.

Sang empu tak sadar, jika dirinya telah menjadi pusat perhatian sampai pelajaran telah usai. Dia memasukkan alat tulisnya kedalam tas, lalu meninggalkan kelas. Mengabaikan tasnya yang berantakan karena Aresh tak merapikan dengan benar.

Situasi di kelas mendadak lega. Mereka menghela nafas saat Aresh keluar kelas mengabaikan guru yang bahkan belum keluar.

Sang guru pun hanya bisa memaklumi atas perilaku donatur terbesar sekolah ini. Ya Aresh adalah donatur, sementara Leonardo merupakan pemilik.

Pemuda itu berjalan dengan wajah berseri. Wajahnya penuh binar bahagia yang sialnya menyeramkan di mata murid yang melihat.

Mereka memberikan jalan untuk Aresh. Tak peduli jika mereka sedang melakukan apa, yang penting Aresh lewat, mereka aman.

Karena Aresh, terkenal akan penguasa di SMA tersebut.

Tep

Seseorang menempelkan punggung tangannya kedahi Aresh. Dia, Danish Agustin. Pemuda kelahiran bulan agustus dengan mata sipit namun tajam.

"Tidak panas."

Aresh menatap Danish datar. "Untuk apa?"

Dasarnya sudah berteman lama, Danish mengerti tentang apa yang di bicarakan oleh Aresh, "Siapa tau kau mendadak gila. Tidak ada yang tau." pemuda tersebut mengangkat bahu acuh.

"Berhenti mengoceh Danish. Kau membuat telingaku berdengung," sahut pria berhoodie abu abu, Dhika Putra Wicaksono. Dhika menatap datar Danish yang memandang dirinya dengan tatapan permusuhan.

"Oh ya? Kau perlu mengorek telingamu Dhika. Siapa tau kan, kau menjadi tuli." Danish bersedekap dada, dia memandang remeh Dhika.

Dhika yang awalnya tiduran, beranjak duduk lalu berdiri. Dia berjalan ke arah Danish yang berada di depan Aresh, "Kau mau kubunuh?!"

Danish tersenyum pongah, "Seperti kau mampu saja."

"Sial!"

Bugh!

Dhika menghajar Danish. Pertengkaran pun tak terelakkan. Keduanya adu jotos tanpa ada yang memisahkan mereka. Terlalu takut dengan keduanya yang menyerang dengan nafsu membunuh.

Entah bagaimana mereka bisa berteman. Hanya Aresh yang tau.



***


"Jean! Kau sudah mengikuti kelas dosen Mike?" tanya Kayzen. Teman satu jurusan Jean yang menurut Jean adalah penganggu.

Jean mengangkat sebelah alisnya, "Jangan sok dekat. Kita tak sedekat itu untuk kau bisa berbicara leluasa." Jean memberi jarak sedikit menjauh dari Kayzen yang menunduk sedih.

Namun Kay sama sekali tak putus asa. Dari awal, dia memang berniat berteman dengan Jean yang sejak masuk fakultas tak pernah mendapat teman.

Kayzen sebagai orang baik ingin membantu Jean dengan mendekati pemuda itu dan berteman dengannya. Tetapi, Jean sulit untuk di dekati.

Tak jarang Kayzen mendapatkan lontaran hinaan dari Jean. Namun Kay tak pernah memasukkannya ke dalam hati. Dalam benak Kay berpikir, jika Jean adalah anak yang tertutup dan tak mempunyai keluarga.

Kay sangat kasihan dengan Jean. Jean begitu mirip dengannya yang tak mempunyai apa apa. Dia di terima di kampus ternama atas kerja kerasnya dan mendapatkan beasiswa.

Tetapi jika untuk Jean, Kay tak tau apa yang membuat Jean bisa masuk. Tak ada desas desus jika Jean juga anak beasiswa seperti dirinya. Lantas, apa yang membuat Jean di terima.

Kay berpikir, jika Jean mendapatkan keberuntungan.

Jean menutupi segala tentang informasinya. Karena saat itu Jean berpikir, jika dirinya tak ingin seluruh kampus tau, jika ia di abaikan oleh sang ayah.

Tapi sekarang, Jean ingin semuanya tau. Jika dia, memiliki ayah yang begitu manis.

"Je."

"Jea."

"Jean!"

Jean tersentak, dia langsung menatap sengit Kayzen. Tetapi Kay tak menyadarinya. Dia hanya menatap khawatir Jean.

"Kau membuatku muak!"



***


Aresh berjalan penuh semangat memasuki mansion. Dia sudah tak sabar untuk bertemu dengan ayahnya yang di kabarkan telah pulang oleh kakak sulungnya.

Namun langkahnya terhenti saat dirinya bertepatan dengan kakak tengahnya. Namun bukan itu yang membuat dia berhenti, melainkan orang asing di belakang Jean.

"Siapa dia?" Aresh bertanya dengan datar. Dia memandang Kay dingin. Dia sangat tak menyukai keberadaan orang asing.

Kayzen memegang lengan Jean, "Jean, lebih baik kita kembali. Untuk apa kita berada disini."

Kay takut dengan tatapan pemuda yang lebih muda darinya. Dia tak habis pikir dengan Jean yang pergi ke Mansion mewah yang terletak di tengah hutan.

Kay kagum, dia sungguh tak tau jika ada sebuah Mansion megah di tengah tengah hutan kota tempat dia tinggali.

Yang menjadi pertanyaan, untuk apa Jean berada disini.

Awalnya Kay ingin menemani Jean. Kay berpikir, jika Jean sedih. Dia khawatir ketika mendapati Jean melamun beberapa waktu yang lalu.

Jadi, dia berinisiatif untuk menemani Jean.

Tetapi, yang dia dapat adalah Jean yang di jemput oleh seseorang bermobil mewah. Kay yang sangat khawatir pun memaksa ikut dengan Jean. Dia takut sesuatu terjadi pada Jean.

Siapa tau, Jean meminjang uang pada rentenir, dan saat ini adalah waktu Jean untuk membayar.

Jean yang malas untuk meladeni Kay. Membiarkan anak itu berbuat semaunya. Apalagi kekerasan kepalaan Kay, membuat mood Jean turun dan malas untuk berbicara dengan Kay.

"Jean, tunggu apa lagi. Cepat, kita harus pergi." Kay menarik narik lengan Jean untuk segera pergi dari rumah besar itu.

"Kak, sungguh. Kau membawa siapa?"

"Kak? Remaja itu memanggil, Jean kak?"batin Kay. Apakah Jean adalah anak salah satu pembantu terpecaya disini?

Banyak pertanyaan pertanyaan di benak Kayzen. Ketika dia ingin menarik Jean lagi. Tetapi, tubuhnya tersentak dan dia jatuh terduduk.

Dia menatap tak percaya Jean sebagai pelaku. "Jean, apa yang kau-"

"Jean, Aresh!" keduanya langsung merubah mimik datar mereka menjadi binar.

"Ya ayah!"  kedua mendekat dan memeluk El.

"Kalian sedang apa? Kenapa tidak langsung masuk?" dua pertanyaan, yang di jawab penuh semangat oleh keduanya. El terkekeh gemas, dia mengusak rambut Jean dan Aresh.

Kemudian, El menoleh ke arah pemuda asing yang terduduk di lantai.

"Ya ampun. Jean, Aresh. Kenapa kalian tak mempersilahkan teman kalian masuk!" El mendekati Kay. Menarik tubuh pemuda itu masuk kedalam dan melupakan keberadaan kedua putranya.

"Huh?" Kay linglung.
















Typo? Tandai..

Muehhehehehee..


Tbc.

Ayah ✔Where stories live. Discover now