2

1.3K 127 3
                                    

Di malam yang panjang Alyzaa sama sekali tidak bisa memejamkan matanya. Dia berbaring miring dengan satu tangan menopang pipinya. Menjadikan telapak tangannya sebagai bantalan.

Berkali-kali dia melirik ke arah pintu kamar, lalu mendengus saat tak mendengar pergerakan apa pun dari sana. Sejak perdebatan mereka tadi, Alyzaa belum melihat Ares lagi. Pria itu seakan benar-benar menghindarinya. Sibuk mengurung diri di dalam ruang kerjanya.

Meski waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Tapi pria itu tak kunjung masuk ke dalam kamar. Seakan menunjukkan jika pria itu benar-benar marah kali ini.

Memikirkan itu, Alyzaa mendengus jengkel. Antara tak percaya dan tak habis pikir. Bagaimana bisa dia marah hanya karna permintaan sederhana Alyzaa? Ckk, lihat saja, jika pria itu sampai benar-benar marah, dia tidak akan- Alyzaa segera menutup rapat matanya begitu mendengar suara pintu terbuka dari luar.

Tanpa mengintip pun dia tahu siapa orang yang masuk ke dalam kamar. Ares, tentu saja suaminya itu.

Memasang pendengarannya setajam mungkin, Alyzaa semakin menutup rapat matanya begitu mendengar langkah kaki mendekat, di susul gerak  ranjang di belakangnya.

Alyzaa masih bertahan menutup matanya, masih bertahan pura-pura tidur hingga merasakan lengan seseorang memeluk pinggangnya. Dia hampir mendengus jengkel, namun tertahan karna sadar jika pria itu bisa saja tahu jika dia pura-pura tidur kali ini.

Masih bertahan dengan posisinya, Alyzaa tak bergeming meski merasa pelukan pria itu mengerat di pinggangnya. Disusul sesuatu yang mengendus-endus lehernya.

"Masih marah?" Kedua mata Alyzaa kian tertutup rapat. Dia bahkan sampai menahan nafas saat terdengar kekehan geli dari pria yang memeluknya.

"Masih, ya?" Tanyanya lagi, yang artinya pria itu tahu jika saat ini Alyzaa sedang pura-pura tidur. Semua itu semakin membuat Alyzaa benar-benar kesal.

"Maaf," bisiknya lagi. Yang tak berselang lama kepala Alyzaa terangkat karna telapak tangan pria itu mengangkatnya lembut, dan dengan menjengkelkannya lagi Alyzaa malah mengangkat kepalanya membuat lengan Ares memanjang dan dijadikan bantalan untuk kepalanya. Semua itu memudahkan pria itu untuk mendekap erat tubuh Alyzaa.

"Apa aku keterlaluan tadi?" Alyzaa membuka matanya lebar. "Sayang?"

Alyzaa membalik tubuhnya, menatap kesal pada pria yang tersenyum menatapnya.

"Kamu itu ngeselin banget tahu, nggak?!"

Ares mengangguk mengiyakan. "Iya, maaf. Hmm?"

"Padahalkan aku cuman pengen terus usaha. Aku gak mau kayak gini terus. Kamu tahu nggak sih gimana perasaan aku selama ini?" Saat Ares menarik kepalanya untuk dia dekap, Alyzaa kembali tergugu.

"Setiap kali aku mikir belum bisa hamil, belum bisa kasih kamu anak-" Alyzaa terisak, tergugu dengan perasaan terasa diremas. "Aku takut."

"Ssstt, gak papa. Kita masih muda, kan? Masih banyak waktu buat kita usaha lebih keras lagi."

"Maaf, semua ini karna aku, ya? Gak seharusnya aku dulu konsumsi obat itu." Setiap kali Alyzaa mengingat itu, dia merasa bersalah, merasa kecewa dan juga merasa menyesal.

Tidak seharusnya dia menambah kesalahan yang pernah dia terima. Tidak seharusnya dia membuat semua semakin memburuk.

Isak Alyzaa kian kuat, kian terasa menyakitkan.

Ares menghela nafas berat, mengusap punggung istrinya lembut, berharap bisa menghentikan tangis wanita itu.

"Maaf,"

Menjauhkan sedikit wajah istrinya, dia tangkup wajah yang dipenuhi linangan air mata itu. "Gak perlu ada yang ditakutin, kita menikah baru beberapa tahun, kan? Di luar sana bahkan ada yang lebih lama dari kita, berpuluh-puluh tahun malah, dan mereka belum dikasih anak sampai sekarang." Dia sudah sering mengatakan ini. Tapi Alyzaa seakan tak mempercayainya. Dan wanita itu selalu saja hidup dalam ketakutannya.

"Dokter juga bilang kalau kamu sehat, gitu pun aku. Jadi apa yang harus kita takutin, hmm?"

"Tapi kenapa aku belum hamil kalau kita sehat? Semua ini pasti karna aku dulu pernah konsumsi obat, jadi rahim aku kering. Terus itu artinya aku yang gak sehat." Ujar Alyzaa setengah merengek. "Mama juga bilang gitu kok." Tambahnya lagi.

Ares kehilangan kata-katanya, merasa tak akan menang melawan istrinya dan tidak akan berhasil membujuk wanita itu.

"Oh, atau kita coba adopsi anak aja ya, sayang?" Ujar Alyzaa tiba-tiba.

"Hmm?"

Seakan baru menemukan ide baru, Alyzaa segera menghapus kasar air matanya. Menatap Ares yang kini ikut mengusap pipinya-yang terdapat sisa-sisa air matanya.

"Dulu itu aku pernah denger, kalau kita bisa ngadopsi anak buat pancingan gitu. Jadi barang kali-"

"Apa kamu gak ngerasa terlalu kejam buat ngadopsi anak sedang itu cuman buat pancingan?"

"Huh?"

Ares bangkit, beranjak duduk dan membantu istrinya melakukan hal serupa. "Dengar, aku gak masalah kalau kita harus usaha lebih keras lagi. Tapi kalau buat ngadopsi anak?" Dia menggeleng tegas. "Nggak! Aku gak setuju."

"Sayang," rengek Alyzaa. Yang selama ini selalu berhasil membuat Ares luluh setiap kali mendengar rengekannya itu.

Namun sayangnya, sepertinya malam ini pengecualian. Karna pria itu tetap menggeleng tegas.

"Aku gak masalah kalau kita harus melakukan serangkaian pengobatan lagi. Tapi, demi tuhan, Za. Ngadopsi anak itu bukan pilihan yang tepat."

"Apalagi kita gak pernah tahu gimana masa depan nanti. Bisa aja ketika kita udah ngadopsi anak itu, tiba-tiba kamu hamil. Lalu apa? Kamu bisa jamin kalau kamu akan sayang sama anak itu sama persis seperti kamu sayang dengan anak kita?" Tambah Ares lagi. Seakan tak mengijinkan istrinya untuk mengeluarkan suaranya lagi.

Alyzaa diam. Tampak berpikir. Dan semua itu membuat Ares kembali meneruskan ucapannya.

"Kalau kamu jawab bisa. Maka aku jawabannya gak bisa."

Alyzaa segara menoleh ke arah suaminya. Menatap pria itu yang menatapnya lurus.

"Aku gak sebaik kamu. Dan aku jamin kalau aku gak akan bisa sayang sama persis seperti anak yang akan lahir dari rahim kamu." Ares sadar jika perkataannya ini terlalu kejam. Tapi, dia juga manusia biasa. Ada batasan yang harus benar-benar mereka batasi untuk sebuah toleransi. Dan untuk mengadopsi anak harus memiliki hati yang besar dan luas. Harus benar-benar bertanggung jawab atas semua kebutuhan anak itu.

Jika pun mereka nanti memiliki anak, dan anak mereka melakukan sebuah kesalahan. Mungkin Ares tidak akan ragu untuk menghukum anak itu, sedang jika mereka mengadopsi anak. Maka Ares tidak yakin dia akan bisa seluwes mengasuh anak kandung mereka.

"Dengar," dia raih tangan wanita itu, dia genggam dan remas lembut. "Aku gak sebaik kamu. Gak sehebat kamu yang memiliki hati begitu luas. Jadi, jangan pernah berpikir aku akan setuju gitu aja kalau kamu pengen ngadopsi anak."

"Res-"

"Ok, obrolan kita malam ini selesai."

"Sayang,"

Ares menggeleng tegas. Tanda dia tidak ingin dibantah kali ini. "Kita tidur." Putusnya final.

"Tapi--" ucapan Alyzaa terhenti ketika Ares sudah berbaring lebih dulu. Menatapnya dengan tatapan yang datar, membuat Alyzaa pada akhirnya mengatupkan mulutnya rapat.

"Tidur!"

Alyzaa menurut, berbaring di sisi Ares dan hanya bisa pasrah ketika pria itu menarik tubuhnya mendekat. Meletakkan tangannya di pinggangnya. Tanpa memeluknya erat seperti biasanya.

Tidak ada kecupan selamat malam-pun bisikan mesra yang ia terima seperti malam-malam biasanya. Semua itu membuktikan jika Ares benar-benar serius dengan ucapannya. Maka Alyzaa hanya bisa diam, menutup mulutnya rapat tanpa berani mengangkat wajahnya. Dia hanya diam dengan pandangan lurus ke arah dada Ares. Namun dia tahu, jika Ares kini tengah menatapnya. Menatap wajahnya yang dia sendiri tidak tahu bagaimana ekspresi wajahnya saat ini. Karna jujur, suasana hatinya semakin terasa buruk saat ini.

Gulali PernikahanWhere stories live. Discover now