16

476 66 7
                                    

Pukul tujuh malam Ares tiba di rumahnya. Langkahnya sedikit tergesa dan cepat saat sejak tadi ia menghubungi istrinya, namun wanita itu tak kunjung mengangkat panggilan. Terakhir kali wanita itu berbicara dengannya adalah saat siang tadi Ares menghubunginya dan memintanya untuk mengambilkan berkas. Membuat dia yang baru selesai meeting dengan kliennya pun tak membuang waktu dan segera pulang.

Gerakan kaki Ares terhenti sejenak, hanya beberapa detik sebelum kembali melangkah ke arah rumahnya yang gelap gulita. Tidak ada pencahayaan apa pun di sana. Gelap seakan rumah itu tak lagi berpenghuni.

Bahkan mendung malam ini kian membuat suasana di sekitarnya gelap gulita.

"Sayang?" Tegur Ares keras. Meraih ponselnya di saku celana dan menghidupkan layarnya guna menerangi jalannya. Lalu segera melangkah ke arah saklar lampu dan menghidupkannya.

Kepalanya berputar, tampak mencari dan menatap sekeliling rumah yang benar-benar sepi itu. Cahaya sudah terang. Namun tak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Sepi dan begitu sunyi.

"Za?" Panggilnya lagi. Melangkah ke arah dapur, ruang tengah dan beberapa ruangan ia periksa guna mencari keberadaan istrinya. Yang mungkin tertidur atau bahkan menunggunya.

Namun sampai dia mencari istrinya di seluruh ruangan. Ia tak menemukan wanita itu, membuat Ares menatap ke lantai dua. Di mana kamar mereka kini berada. Yang mungkin saja istrinya berada di sana.

Tak membuang waktu Ares segera melangkah ke kamarnya dan Alyzaa. Wajah khawatirnya kian menjadi-jadi saat pikiran-pikiran buruk kini bersarang di kepalanya.

"Say-" ucapan Ares terhenti di ujung lidah. Dia menatap wanita yang kini duduk di samping ranjang, duduk bersandar di sana dengan wajahnya yang tenggelam di antara lututnya.

Meski kamarnya gelap gulita, hanya ada cahaya dari lampu yang ruang di depan kamar. Namun Ares tahu jika wanita itu sedang menangis saat ini.

Ares bergerak masuk, menghidupkan lampu hingga kini kamar itu menjadi terang.

Dia tidak berbicara, hanya masuk dengan pandangan tidak lepas dari wanita yang kini bahunya bergetar hebat. Entah berapa lama wanita itu menangis. Ares sangat penasaran karena saat ia berada di depan tubuh itu, mengusap puncak kepalanya. Hingga membuat wajah itu yang sempat tertunduk kini terangkat. Ares bisa melihat bagaimana wajah itu yang tampak sangat kacau, matanya pun begitu sembab dengan bibir bergetar menahan tangis.

Dia tidak bertanya, tidak mengatakan apa pun selain mengulurkan tangannya.  Menelusupkan satu lengannya diantara lutut dan punggung yang masih bergetar itu. Lalu mengangkat tubuh itu dengan sekali sentak dan memindahkannya di atas ranjang. Mendudukkannya di sana selagi dia duduk di depan wanita yang kini sama sekali tidak mau melihatnya.

Dia menatap wajah itu, yang masih mengeluarkan air matanya tanpa henti.

"Sayang?" Panggilnya lembut. Menggenggam telapak tangan yang berada di atas pangkuan istrinya, yang terasa dingin itu. Menggenggamnya erat dengan perasaan yang mendadak berubah gelisah.

Hubungan mereka baik-baik saja saat siang tadi ia masih menghubungi wanita di depannya. Masih bercanda di pagi hari sebelum Ares pergi bekerja. Juga berjanji untuk makan malam bersama saat Ares pulang nanti. Tapi, saat ini... Apa yang terjadi pada wanita di depannya ini?

"Apa-.."

"K-kenapa?" Wajah itu terangkat. Menatap Ares dengan tatapan terluka juga kecewa. Membuat Ares beringsut dan menggenggam tangan istrinya lebih erat. Ketakutan mendadak mengepung dirinya.

"Kenapa.. kamu bohong, Res?" Tanyanya. Diantar isakkan yang mati-matian wanita itu hentikan.

"Apa kamu sengaja melakukan ini? Biar apa? Biar aku terus-terusan bersikap bodoh dan konyol di mata kamu?"

Ares menggeleng. Setengah bangkit, dan memeluk pinggang istrinya erat. Membiarkan jarak wajahnya begitu dekat dengan wajah istrinya. Meski tubuh istrinya lebih tinggi darinya karna kini dia berjongkok dengan kami sedikit berjinjit di depan wanita itu. Dengan lutut yang mengurung kedua kaki wanita itu. Menatap kedua mata yang kini tampak menatapnya dengan sorot mata putus asa.

"Sayang-"

"Ayo kita bercerai?!"

Ares merasa dunianya runtuh seketika, wajahnya bahkan berubah kaku dan tubuhnya terasa dingin menggigil. Jadi demi menjaga segala ketakutan di tubuhnya itu, dia mengusap wajahnya frustasi. Lalu menunduk dan meraih kedua telapak tangan istrinya. Dia genggam erat-erat sebelum dia mengangkat wajahnya.

"Aku salah, sayang. Aku minta maaf." Wajahnya memelas saat ini. "Aku nggak bermaksud untuk menyembunyikan semua ini. Aku hanya-"

"Bertahun-tahun aku ingin memiliki anak, Res. Aku menutup telinga setiap kali orang berbicara tentang keturunan. Aku percaya saat kamu mengatakan jika aku sehat, aku baik-baik saja. Hanya tuhan yang belum kasih kita kabar baik itu. Tapi apa?"

Kedua mata Ares ikut berkaca saat mendengar nada lemah istrinya. Terlihat jelas bagaimana wanita itu tampak begitu kecewa.

"Maaf." Hanya itu yang bisa Ares katakan saat ini. Karna nyatanya, alasan apa pun yang akan ia berikan. Tidak akan membuat keadaan istrinya baik-baik saja.

"Aku minta maaf."

Alyzaa menggeleng lemah. Menunduk kian mengeluarkan air matanya. Membiarkan air mata itu terus jatuh membasahi pipinya.

"Sayang?"

"Aku butuh waktu..."

Ares menggeleng panik.

".. berpikir."

"Nggak, sayang. Nggak ada yang perlu dipikirkan. Aku-"

"Berapa kemungkinan aku bakal bisa punya anak?"

Ares menunduk, wajahnya jatuh di atas pangkuan istrinya dengan air mata yang ikut mengalir di sudut-sudut matanya.

"R-res?"

"Aku cinta kamu, Za. Apa hidup berdua denganku itu nggak cukup?" Pertanyaan penuh keputusasaan itu. Membuat tangis Alyzaa kian mengeras, kian kuat saat dadanya layaknya dihantam ribuan ton besi. Dihimpit kuat tanpa ampun. Sesak, sakit, melebur menjadi satu. Membuatnya tidak lagi mampu berkata-kata.

Bahkan saat Ares memeluknya. Mengusap punggungnya, Alyzaa hanya bisa menjatuhkan wajahnya di pundak Ares. Membiarkan tangisnya pecah sepecah-pecahnya. Seakan menumpahkan segala perasaannya di sana.

Gulali PernikahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang