3

1K 104 9
                                    

"Selamat pagi,"

Ares yang baru saja menutup pintu kamar, hendak keluar pun segera menatap ke sumber suara.

"Kamu udah mau berangkat, sayang?"

Ares kira, istrinya pasti marah karena ucapannya semalam, atau penolakan yang telah dia berikan. Namun nyatanya dia salah, wanita yang kini berstatus istrinya itu tampak berdiri di depannya. Melangkah pelan dengan bibir tersenyum tipis.

"Aku kira kamu belum bangun, baru mau aku bangunin."

Masih menatap istrinya lurus, Ares tidak tahu apa yang saat ini istrinya itu pikirkan. Tapi, saat menemukan wajah biasa menghiasi wajah itu. Dia tahu jika mungkin, wanita itu menerima keputusannya untuk tidak melakukan hal gila itu.

Mengadopsi anak? Itu bukan pilihan yang bagus mengingat hubungan mereka yang masih sangat muda. Mereka masih bisa berusaha lebih keras lagi, berdoa dan mungkin melakukan banyak pengobatan untuk mendapatkan anak.

"Kenapa, kok diam aja, sih?"

Ares mendesah, menggeleng dan mendekat ke arah Alyzaa untuk memeluk istrinya itu. Dia kecup pundak wanita itu lama, dia hirup dalam-dalam aroma tubuh wanita itu. Dan perasaan lega bercampur nyaman seketika memenuhi dadanya.

Luar biasa lega dan nyaman.

"Aku kira tadi kamu udah berangkat kerja." Dan merajuk atau lebih parahnya marah. Sambungnya dalam hati.

"Hari ini kan kamu janji buat nemenin aku ke dokter. Jadi aku ambil libur."

Pelukan Ares kian mengerat. Bahkan dia membenamkan hidungnya lebih dalam di pundak itu. Dalam dan dia hirup lebih dalam aroma wangi tubuh istrinya.

"Jangan bilang kamu gak jadi--"

"Iya, aku bakal temenin." Sela Ares yang seketika membuat Alyzaa membalas pelukannya tak kalah erat.

Ada perasaan nyaman dan lega setiap kali dia merasakan pelukan erat pria itu. Seakan pria itu benar-benar takut kehilangannya. Tapi secara bersamaan semua itu kadang membuat Alyzaa takut, ada kalanya dia takut merasa jika suatu hari nanti Ares akan bosan hidup dengannya dan membohonginya. Lalu memilih pergi dan mencari wanita lain sama seperti Rangga. Atau bahkan lebih parah dari itu. Dan saat itu, Alyzaa pasti benar-bener hancur tanpa sisa. Karna bagaimana pun juga, dia sudah benar-benar bergantung pada pria itu.

Wanita dan segala paranoidnya. Alyzaa sadar akan hal itu, tapi jika seseorang sudah pernah merasakan perasaan trauma yang mengerikan pasti akan semakin sering berpikir gila seperti itu, dan sangat sulit baginya untuk berpikir lebih rasional.

"Kamu gak keberatan kalau aku ke kantor sebentar, kan?"

"Hmm?"

"Aku harus mengurus beberapa pekerjaan dulu."

Alyzaa menarik diri, menatap wajah suaminya yang kini menunduk.

"Gimana kalau aku ikut kamu?"

"Kamu gak masalah kalau harus nunggu aku di kantor?"

Alyzaa menggeleng.

Ares tersenyum. "Oke." Dia tampak tak keberatan sama sekali. "Kita berangkat sekarang?"

"Sarapannya?"

"Kamu keberatan kalau kita sarapan di jalan?"

Alyzaa menggeleng dan tersenyum. "Aku siapin sarapannya dulu kalau gitu."

"Oke."

****

Ares tahu, setiap kali mereka keluar dari ruangan dokter dan mendengar segala penjelasan dokter obgyn itu. Alyzaa akan berubah menjadi lebih pendiam.

Ada wajah murung, tatapan sayu dan ekspresi lebih sayu. Karna itu kadang dia enggan menyetujui permintaan wanita itu untuk konsultasi.

"Mau jalan-jalan dulu?" Tawarnya begitu mereka sudah naik ke atas mobil.

Alyzaa hanya menoleh, menatap Ares yang kini menatapnya penuh dan khawatir. Lalu dia menggeleng lemah. Kembali menghadap ke arah luar jendela.

Entah mengapa setiap kali mereka keluar dari rumah sakit untuk konsultasi ke dokter obgyn. Perasaannya selalu berubah menjadi tak menentu. Apalagi setiap kali dia berpapasan dengan wanita-wanita yang berperut buncit dan di temani oleh suaminya. Alyzaa merasa,... Iri. Merasa suasana hatinya berubah buruk.

"Mau es krim?"

Alyzaa kembali menoleh ke arah suaminya, menemukan pria itu yang sudah melepaskan seatbelt nya. Bersiap turun. Saat dia kembali menoleh ke samping, dia baru sadar jika mereka berhenti di sebuah kedai es krim.

"Tunggu di sini, aku gak akan lama. Oke?"

Alyzaa tak menyahut, dia hanya diam sampai Ares keluar dari mobil. Setelah itu keadaan berubah hening. Sepi tanpa ada siapa apa pun.

Bahkan sepanjang Ares masuk ke dalam kedai es krim itu. Alyzaa tak memalingkan wajahnya. Dia terus menatap punggung tegap itu hingga menjauh, masuk ke pintu kaca, berbelok dan menghilang.

"Seperti hasil pemeriksaan sebelum-sebelumnya. Kondisi rahim, indung telur semua sehat. Bahkan hasil Histerosalpingografi kita juga menunjukkan sehat. Semua sehat seperti biasa. Bahkan hasil menstruasi setiap bulannya lancar, kan, Bu Alyzaa?"

Alyzaa mengangguk, dan bisa dia rasakan ada remasan lembut di punggung tangannya. Begitu dia menoleh, dia menemukan Ares yang tersenyum lembut ke arahnya.

"Pola makan-"

"Seperti saran, dokter, kami melakukan semuanya. Menerapkan pola hidup sehat, mengkonsumsi makanan bergizi dan seimbang. Kami juga-"

"Sayang."

Alyzaa mendesah, kembali menoleh ke arah Ares begitu mendengar panggilan suaminya itu. Ada gelengan kepala lembut dan remasan lembut di tangannya yang lebih terasa mengerat, dan semua itu mendadak terasa menyesakkan dadanya.

"Saya mengerti perasaan, Bu Alyzaa. Tapi Bu, seperti saran kami pertama kalinya. Mungkin kita bisa mencoba melakukan inseminasi buatan atau bayi tabung. Mengingat anda pernah mengkonsumsi obat kontrasepsi dalam jangka panjang. Meski semua hasil pemeriksaan sehat, baik Histerosalpingografi, USG kandungan, atau pemeriksaan sperma, dan lainnya. Tapi mungkin kita bisa mencoba-"

Lamunan Alyzaa buyar begitu mendengar getar ponsel seseorang. Begitu dia menoleh ke belakang, dia menemukan jas Ares yang tergeletak di kursi belakang. Ada nada dering ponsel di sana, membuat dia tahu jika suara itu pasti berasal dari sana. Menoleh ke arah kedai di mana keberadaan suaminya-yang belum terlihat. Alyzaa menghela nafas panjang, mencondongkan tubuhnya untuk meraih jas suaminya itu. Dan mengambil benda yang berdering di sana.

Sebuah nama yang tertera di sana, yang terasa asing membuat keningnya mengernyit.

Dia dan Ares sudah berjanji untuk tidak memiliki rahasia apa pun. Mereka sudah sepakat untuk saling terbuka satu sama lain.

Lagi, ponsel Ares kembali berdering. Membuat Alyzaa yakin jika yang menghubungi suaminya itu pasti salah satu kolega atau kliennya.

Takut jika panggilan itu penting, Alyzaa pun mengangkatnya. Menempelkannya di telinga dan menyapa sang penelepon.

"Oh, ya itu suami."

Gerakan tangan Alyzaa yang hendak membuka pintu terhenti. Tubuhnya seketika berubah mematung.

"Panti asuhan kasih?"

"W-ali?" Wajah Alyzaa berubah kian berubah kaku. Semakin pucat dengan tubuh yang kian terasa semakin kaku. "Bisa tolong ulangi suami saya menjadi wali siapa?"

Gulali PernikahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang