Ini chapter 01

609 14 0
                                    

Tok tok
"Ajeng, nak, bangun sudah pagi lho ini. Hari ini kamu kan sudah sekolah." Bu Retno berbisik pada pintu kamar putrinya berharap agar Ajeng segera bangun dan bergegas bersiap-siap. Tapi dari balik pintu tidak sedikitpun Bu Retno mendengar sahutan. Mungkin karena putrinya tersebut masih terlelap dengan pulas.

Benar-benar tidak boleh dibiarkan. Hari ini setelah kurang lebih dua minggu libur, semua siswa dan siswi diharuskan kembali bersekolah seperti biasa, tapi karena kebiasaan sewaktu libur di mana Ajeng tidur terlambat dan bangun telat bisa-bisa anak itu akan terlambat di hari pertamanya sebagai siswa kelas dua belas.

Keinginan Bu Retno hanyalah satu kini, yaitu membangunkan Ajeng dengan cara apapun. Jadi dia berbalik badan berniat untuk ke dapur dan mengambil segayung air untuk ia siramkan pada Ajeng agar ia segera bangun. Tapi Bu Retno dikejutkan oleh kemunculan Ajeng yang tiba-tiba dari arah dapur dengan rambut basah dan handuk di pundak. Pemikiran Bu Retno pun salah tentang Ajeng. 

"Lho … kamu sudah bangun toh?" Bu Retno menunjuk Ajeng yang mana langsung mengangguk.

"Sudah, bu. Ibu sendiri ngapain di sini?" tanya Ajeng yang kebingungan sambil tangannya bergerak mengelap rambut basahnya dengan handuk.

"Ibu mau bangunin kamu, tapi karena kamu sudah bangun ya baguslah." Dengan begitu Bu Retno tidak perlu membangunkannya dengan cara yang tidak biasa. 

Lalu Bu Retno berlalu dari depan pintu kamar Ajeng dan memberi privasi untuk putrinya tersebut yang akan bersiap-siap. Sedangkan ia sendiri kembali ke dapur dan melanjutkan kegiatan memasaknya. Kegiatan sehari-harinya sebagai seorang ibu rumah tangga.

Beberapa saat kemudian Ajeng muncul di ambang pintu dapur, terlihat sibuk memasang dasinya untuk menjadi pelengkap seragam putih abu-abunya.

"Ajeng …" Bu Retno memanggil.

"Iya, bu?"

"Ini rantang makanannya kamu antarkan ke sawah ya, buat ayahmu," kata Bu Retno yang tengah memasukkan berbagai jenis makanan ke dalam sebuah rantang berwarna putih bercorak bunga-bunga.

Tanpa beban Ajeng mengiyakan, dia sudah terbiasa disuruh membawakan makan siang ke sawah seperti ini untuk sang ayah yang sibuk menggarap sawah. Lagipula tidak menyusahkan, arah sawah milik keluarga Ajeng dan arah sekolah memiliki arah yang sama jadi sekalian saja. 

Sewaktu libur kenaikan kelas, Ajeng bahkan tidak hanya mengantarkan makan siang, tapi juga tinggal di sawah dan membantu-bantu sang ayah sebisanya. Jika Ajeng pikir-pikir lagi, kegiatan itu sebenarnya sangat tidak cocok untuk seorang gadis remaja sepertinya tapi Ajeng merasa kasihan pada ayahnya yang tidak dibantu oleh siapapun. Ajeng anak tunggal dan sangat tidak mungkin mengharapkan bantuan oranglain dalam hal menggarap sawah. Pada saat panen mungkin ayah Ajeng akan mengajak banyak orang untuk membantunya, tapi untuk penggarapannya semua dikerjakan oleh ayahnya seorang diri dan kadangkala di bantu oleh Ajeng atau ibu Ajeng.

Tak berlama-lama lagi, Ajeng segera berangkat. Bersama sepeda kesayangannya yang berwarna hitam. 

Jarak sekolah dengan rumah yang tidak terlalu jauh, membuat Ajeng memutuskan untuk memiliki sepedanya sendiri, karena dengan begitu dia bisa mandiri pulang dan pergi sekolah.

Setiap harinya, Ajeng akan melewati rute yang sama. Rute di mana dia bisa melihat hamparan sawah dan gunung yang menjulang tinggi di belakangnya, dan jangan lupakan kabel listrik yang terbentang di pinggir jalan. Ada juga beberapa kebun warga banyak ditumbuhi tanaman berbagai jenis dan pohon-pohon yang rindang dan biasa menjadi tempat Ajeng berteduh apabila pulang sekolah matahari bersinar begitu terik. Hal lainnya yang Ajeng lewati adalah rumah-rumah warga yang hampir semua penghuninya Ajeng kenal dengan baik. Apabila berpapasan, maka Ajeng harus mengumbar senyum manis pada mereka, kalau tidak, maka Ajeng bisa disebut gadis sombong, dan Ajeng tidak suka sebutan itu.

Kamu bilang, kamu cinta sama akuWhere stories live. Discover now