Ini Chapter 41

37 1 0
                                    

Kepindahannya ke Jakarta telah membawa Ajeng menemui banyak hal baru. Rumah baru tanpa kedua orang tuanya, lingkungan baru yang jauh berbeda dengan kampung halamannya, suasana baru yang pun berbeda, dan tentunya
wajah-wajah baru yang Ajeng belum pernah temui sebelumnya. Semua hal baru yang kini hadir dalam hidupnya, memaksa Ajeng untuk beradaptasi secepat mungkin. Walaupun jujur saja cukup sulit, seperti mengurus rumah tangga tanpa bantuan ibunya. Ajeng yang semula hanya memperhatikan Retno bergerak kesana kemari mengurus rumah mereka, kini seolah-olah disuruh mempraktekkan segala macam hal yang Retno lakukan dulu. Membersihkan rumah, memasak, mencuci pakaian, menyetrika pakaian, belanja bulanan dan masih banyak lagi lainnya ternyata sangat melelahkan, namun Ajeng harus terus melakukan karena kalau bukan dirinya, maka siapa lagi?

Alan tidak pernah mau membantu meringankan beban Ajeng sebagai ibu rumah tangga. Semenjak tiba di Jakarta, bisa dibilang, Alan menghabiskan banyak waktunya di luar rumah dengan alasan dia ingin melepas rindu dengan teman-temannya  yang tidak bisa ditemuinya setelah pindah ke kampung. Awalnya Ajeng memaklumi, berusaha mengerti tentang kerinduan Alan dengan teman-temannya dan Jakarta, tapi seiring berjalannya waktu, Ajeng merasa semakin sulit membiarkan Alan untuk pergi karena ternyata Ajeng benar-benar membutuhkan bantuan Alan di tahap baru kehidupannya ini, dalam beberapa hal terutama, seperti diantar ke pasar atau mungkin supermarket karena Ajeng belum terbiasa naik kendaraan umum atau memesan taksi maupun ojek online. Namun untuk hal seperti itu pun Alan tidak bisa membantu.

"Ajeng … sebentar lagi, aku bakal masuk kuliah. Aku harus ngurus banyak banget dokumen jadi aku gak bisa nganterin kamu kemana-mana," kata Alan suatu hari dengan alasan baru. "Lagipula kan kamu harus belajar mandiri. Kalau tinggal di Jakarta ini memang seperti itu. Kebanyakan kemana pun kita pergi ya usaha sendiri."

Pada akhirnya Ajeng hanya akan bisa menghela napasnya. Mendebat orang lain bukanlah hal yang jago Ajeng lakukan terlebih pada orang terdekatnya seperti Alan. Ajeng akhirnya menurut saja dan berusaha untuk menjadi mandiri seperti kata Alan. Tidak hanya dalam hal bepergian, dalam hal lain seperti membeli hal yang sedang diidamkannya selama masa kehamilan, Ajeng melakukannya sendiri. Pun apabila Alan bisa membantu, dia akan terlambat melakukannya karena biasanya Alan pulang lewat tengah malam.

Terdengar menyedihkan memang, padahal kebanyakan wanita hamil yang sudah menikah bahkan walaupun belum menikah pasti ketika sedang ngidam, akan dibantu oleh seseorang untuk mendapatkan apa yang diidamkannya itu, tapi Ajeng berbeda. Dia tidak bisa meminta bantuan siapapun selain Alan di Jakarta ini.

Bukan itu saja, lama kelamaan, Ajeng juga mulai merasa semakin kesepian tanpa siapapun di rumah dan tanpa tahu harus menemui siapa di luar rumah. Berbeda ketika di kampung, apabila Ajeng merasa bosan di rumah maka dia bisa keluar dan berkunjung ke rumah Milka. Mereka lalu akan bersenang-senang bersama. Di lingkungan barunya ini Ajeng tidak mengenal siapapun dan tidak bisa mengunjungi siapapun.

Ajeng pernah membuat sebuah cake, lalu membawanya ke rumah seorang tetangganya yang paling dekat dengan rumahnya. Niatnya untuk memperkenalkan diri dan untuk menambah kenalan, agar hidup Ajeng tidak begitu sepi.

Semuanya berjalan dengan baik pada awalnya. Sang tetangga menyambut dengan baik niat Ajeng. Ajeng bahkan di persilahkan masuk ke dalam rumah tetangganya itu. Mereka berbincang-bincang tentang beberapa hal. Ajeng mengagumi taman kecil di halaman rumah tetangganya itu, juga sebuah kolam kecil berisi ikan kecil.

“Itu ikan koi. Katanya ikan koi membawa keberuntungan, makanya suami saya langsung beli dan mau memelihara.”

“Saya juga pernah dengar tentang hal itu,” kata Ajeng senang karena bisa membahas hal yang ia ketahui. “Beli ikan koi-nya kalau boleh tahu beli di mana ya?”

“Suami saya punya teman yang kebetulan menjual beberapa jenis ikan, termasuk ikan koi. Kamu mau beli ikan koi juga?”

“Saya suka ikan koi dan mungkin nanti bakal beli juga, tapi sebelum itu, saya harus ngomong dulu sama suami saya.”

Raut wajah wanita itu entah mengapa tiba-tiba berubah. Ada kecanggungan yang muncul dan Ajeng menyadarinya dengan cepat. Dan tiba-tiba saja wanita itu sudah bertanya, “Kamu sudah menikah, sejak kapan?”

“Sebulan yang lalu.”

“Sebulan yang lalu?” tanya wanita itu lagi seolah meyakinkan indra pendengarannya atas apa yang Ajeng katakan, dan Ajeng mengangguk. “Bukannya sebulan yang lalu anak sma baru saja lulus ya?”

“Iya, bu, kami menikah beberapa hari setelah pengumuman.”

“Ya ampun, terus kuliahmu gimana?”

“Suami saya tetap lanjut kuliah.”

“Kamu sendiri gimana? Kamu tipikal orang yang gak ngerasa pendidikan penting ya?”

Pendidikan bagi Ajeng tentu saja sangatlah penting, namun dia memiliki sebuah alasan yang sangat kuat dan tidak terbantahkan untuk tidak melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Hanya saja, Ajeng tidak bisa mengatakan alasannya tersebut kepada tetangganya ini.

Namun, sepertinya tanpa Ajeng beritahu pun, wanita itu, tetangganya itu, sudah tahu alasan Ajeng menikah tiba-tiba dan tidak lanjut kuliah. Bukan karena biaya, tapi karena dia sedang hamil.

Kehamilan Ajeng dari hari ke hari tak dapat lagi disembunyikan akibat perutnya yang semakin membesar. Dan tetangganya itu mulai menjauhi Ajeng seolah takut dengan Ajeng. Bukan hanya satu orang saja, tapi hampir semuanya. Sepertinya semua tetangganya sudah tahu dan apabila melihat Ajeng, mereka akan menghindar seolah Ajeng adalah hantu.

Kejadian itu, Ajeng ceritakan pada Alan yang menanggapinya dengan santai, teramat sangat santai malahan.

“Malah bagus kalau begitu, kita jadi gak usah susah-susah berinteraksi dengan oranglain.”

Ajeng tidak bisa menerima ucapan Alan, namun juga tidak menyanggah.

Jujur saja Ajeng sangat lelah dengan segala macam kemelut dalam semester baru hidupnya ini, tapi dia tidak ingin menangisi keadaannya. Ajeng ingin menjadi wanita yang kuat dan tahan banting seperti Retno, ibunya. Selama ini, Ajeng telah melihat keluarganya di singgahi begitu banyak cobaan tapi tak pernah sekalipun Ajeng melihat atau mendengar suara tangis Retno. Itulah yang Ajeng ingin lakukan. Dia akan menunjukkan bahwa apa yang kini dihadapinya bukanlah masalah besar. Selagi orang terkasihnya seperti Alan dan calon bayi mereka masih ada bersamanya maka Ajeng akan baik-baik saja.

Lagipula, setelah Ajeng pikirkan baik-baik, dalam kesendirian, Ajeng bisa melakukan hal lain yang mungkin bisa membuat segala macam rasa bosannya sirna seperti membaca novel, memasak makanan dengan mengikuti resep YouTube, menonton acara lawak di televisi, menonton drama, dan masih banyak lagi lainnya, tapi yang paling Ajeng sukai adalah tentu saja, melukis. Hobi yang telah mendarah daging dalam dirinya itu sejak kecil benar-benar mampu menyenangkan hati Ajeng. Paling sering, Ajeng akan melukis tentang keindahan kampung halamannya, potret dirinya bersama Mika dan Milka, dan juga potret kedua orangtuanya yang sangat Ajeng rindukan kehadirannya.

>>>
Sabar ya Jeng😭

Kamu bilang, kamu cinta sama akuOnde histórias criam vida. Descubra agora