Ini Chapter 16

85 1 0
                                    

Tegang, tegang, itulah yang sekarang Ajeng rasakan saat dirinya harus duduk berhadapan dengan kedua orangtuanya yang ekspresi wajahnya sangat kaku. Ada apa ini? Ajeng bertanya-tanya dalam hati dan tidak berani menanyakan keingintahuannya secara langsung. Ajeng menunggu sampai orangtuanya yang membuka suara lebih dulu.

Baru tiga menit kemudian sepertinya orangtua Ajeng berbicara setelah puas memandangi anak mereka.

"Ajeng, gimana sekolahmu?" tanya Retno basa basi.

"B-baik bu, alhamdulilah," kata Ajeng gugup. Dia menelan ludahnya guna membasahi kerongkongannya yang terasa kering.

"Pelajaranmu gak ada yang terganggu kan?"

Cepat-cepat Ajeng mengangguk, memangnya apa yang akan mengganggu pelajarannya?

"Semuanya baik kok bu. Memangnya kenapa? Tumben ibu nanya-nanya."

Retno dan Rama saling lirik yang arti dari lirikan tersebut hanya merekalah yang tahu. Ajeng bahkan tidak punya satupun tebakan di otaknya yang bisa menjadi alasan dari lirikan dan sesi tanya jawab yang tiba-tiba ia harus hadapi ini.

"Ayah dengar kamu punya pacar. Apa itu benar?"

Napas Ajeng tertahan beberapa saat mendengar pertanyaan itu, mengejutkan iya, tapi lebih daripada itu Ajeng merasa takut. Ketika napasnya kembali normal dan sebagaimana kebiasaan Ajeng ketika merasa tersudut, ia akan mencari perlindungan pada orang yang dirasanya paling dekat dengannya, dan kali ini ibu, Ajeng menatap sang ibu yang mana tidak sedikitpun memberikan tatapan perlindungan yang Ajeng harapkan. Lewat matanya Retno memperlihatkan hal yang sama dengan yang mata Rama perlihatkan, kekecewaan dan kemarahan, dan itu membuat Ajeng takut bahkan sebelum ia menjawab pertanyaan Rama.

"Diam bukan jawaban Ajeng, jawab pertanyaan ayahmu."

Bahu Ajeng merosot lesu mendengar nada tegas dalam suara Retno. Jika Rama, Ajeng sudah biasa namun tetap saja takut, tapi bedanya kali ini orang yang biasanya bersama Ajeng dan menenangkannya untuk tidak merasa takut pada Rama malah berada di pihak Rama.

"Maaf, bu, yah."

Helaan napas Rama yang terdengar sangat jelas membuat Ajeng semakin menunduk. Tangannya meremas dres abu-abu yang ia kenakan.

"Kamu tahu kan kalau ayah sama ibu udah larang kamu buat pacaran? Terus kenapa kamu melanggar?!"

"Maaf yah. Ajeng…."

"Banyak alasan! Kamu ini makin gede makin nakal. Bukannya bikin orangtua bangga, malah bikin malu!"

"Yah… pacaran itu bukan sesuatu hal yang memalukan," kata Ajeng lesu.

"Itu bagimu, bagi tetangga kita tidak seperti itu. Di kampung ini tidak ada hubungan selain pernikahan!" kata Rama tegas. "Lagian buat apa sih kamu pacaran? Apa gunanya coba?"

"Aku cinta sama dia yah…."

"Cinta? Kamu pikir apa itu cinta?!" Rama langsung berdiri berkacak pinggang. Matanya menatap nyalang Ajeng yang kian ciut di sofa. "Ayah pokoknya gak mau tahu! Kamu harus putusin pacarmu itu atau ayah akan temui dan pukul pacarmu itu!"

"Duh yah, jangan gitulah." Ajeng panik karena tahu ancaman ayahnya tidak pernah main-main dengan ucapanmu. "Ajeng janji gak akan macam-macam sama dia. Jadi ayah dan ibu gak perlu khawatir."

"Siapa yang tahu kedepannya?!"

"Ajeng jamin yah… ayah sama ibu pengen Ajeng bikin bangga kan?" Mata Ajeng berbinar-binar menatap kedua orangtuanya bergantian. "Kalau aku dan Alan putus aku gak mau lanjut kuliah dan bikin kalian bangga dengan prestasiku, tapi kalau kalian ngizinin aku pacaran, Ajeng janji untuk jadi mahasiswa yang berprestasi nanti."

"Kamu ngancem ayah?" Rama memicingkan matanya tidak suka dengan usul Ajeng.

"Ini satu-satunya yang bisa kulakukan yah, aku cinta banget sama Alan. Gak mau jauh dari dia."

Belum pernah sebelum ini Ajeng memaksakan keinginannya pada kedua orangtuanya, bahkan saat dulu hendak mengikuti perlombaan-perlombaan yang berkaitan dengan hobinya yaitu melukis, Ajeng tidak pernah memaksa orang tuanya seperti sekarang ini. Kegigihannya ini yang membuat Rama duduk kembali di sofa dan kemudian diam untuk beberapa saat.

"Kalau begitu, ayah mau ketemu sama pacarmu itu, ayah pengen bicara sama dia."

Ajeng menatap ayahnya dengan tidak percaya seolah aap yang ia dengar barusan adalah hal mustahil, namun di saat yang sama merasa sangat bahagia sampai matanya membulat seperti itu. "Jadi Ajeng berarti boleh pacaran yah?"

"Jangan senang dulu, ayah ada banyak peraturan untuk kalian."

Apapun itu Ajeng tetap senang, sesuatu yang sebelumnya mustahil baginya kini telah menjadi mungkin dan itu sangat berarti bagi Ajeng. Saking senangnya Ajeng sampai ingin memeluk ayah dan ibunya untuk berterima kasih pada mereka karena telah memberikan Ajeng izin untuk berpacaran, tapi ketika melihat raut wajah mereka yang masih tegang, Ajeng tidak jadi melakukannya. Dia kembali duduk dengan tenang di tempatnya sambil terus tersenyum senang.

><

"Jadi ayahmu marah gitu tahu kamu pacaran sama aku?"

Ajeng mengangguk seolah-olah Alan dapat melihatnya saat ini padahal mereka hanya terhubung lewat sambungan telepon. "Iya, marah banget."

"Hadeuh… ayahmu kok gitu sih, padahal kan gak ada salahnya pacaran kalau kita saling suka."

"Ayah mana perduli, dia kan pedulinya sama omongan tetangga yang gak ada habisnya itu."

Ajeng mendengar Alan menghela napas, Ajeng mengerti, Alan pasti kesal dengan kemarahan Rama yang tidak seharusnya namun Ajeng juga tidak bisa melakukan apapun.

"Inilah kenapa aku gak betah tinggal di kampung, pengen cepet-cepet balik ke Jakarta rasanya supaya bebas lagi. Gak terkekang hal gak masuk akal dan kolot," kata Alan menggebu-gebu. "Nanti kamu kalau kuliah di Jakarta aja, di sana kamu bisa ngapain aja tanpa perlu mikirin omongan tetangga."

"Rencananya memang begitu, tapi Lan untuk sementara waktu kita gak bisa sering-sering ketemu dulu karena ayah…."

"Jangan bercanda Ajeng, kamu harus tahu, aku gak suka diatur dna kamu seharusnya juga begitu. Kamu jangan mau diatur-atur. Emangnya kamu mau apa kalau gak ketemu sama aku?"

"Enggak Alan, aku selalu mau ketemu sama kamu, cuma ya kan kita cukup ketemu di dalam sekolah aja. Di luar sekolah gak usah karena kata ayah takutnya gunjingan orang-orang sekitar semakin parah. Gitu."

"Dan kenapa kita harus dengerin omongan orang?"

"Alan…" Ajeng mendesah lelah, tidak tahu harus bagaimana lagi meyakinkan Alan untuk menerima sarannya, Ajeng sudah cukup lelah menghadapi ayahnya tadi dan sekarang Alan. "Cuma beberapa bulan dan saat kita pindah ke Jakarta, hal seperti ini gak akan terulang lagi."

Tidak ada tanggapan dari Alan untuk beberapa detik, ketika Alan kembali berbicara, dia hanya mengiyakan namun dengan ketus lalu memutus sambungan telepon dengan Ajeng secara sepihak.

Ajeng terhenyak, ini adalah pertama kalinya mereka bertengkar setelah empat bulan berpacaran dan yang menjadi penyebabnya adalah ia sendiri. Padahal saat itu masih ada hal yang ingin Ajeng sampaikan pada Alan.

><
Chapter ini gak asyik sumpah(⁠ ⁠◜⁠‿⁠◝⁠ ⁠)

Kamu bilang, kamu cinta sama akuOù les histoires vivent. Découvrez maintenant