Ini Chapter 42

35 1 0
                                    

Kandungan Ajeng sudah memasuki minggu ke-27, perutnya kian membesar dan semakin jelas terlihat.  Ajeng semakin sulit untuk bergerak karena beratnya beban yang dia harus bawa kemana-mana. Namun, di saat tertentu, ketika si bayi menendang, Ajeng akan merasa sangat senang karena tahu bahwa apa yang berada di rahimnya saat ini bukanlah sebuah beban melainkan sebuah keajaiban. Dan pemikiran ini membuat Ajeng jadi lebih anteng dan dirinya juga lebih bisa menikmati masa-masa kehamilannya di trimester ketiga ini.

Sebenarnya semakin mendekati hari persalinan, Ajeng pun sebenarnya sangat ingin mengunjungi dokter kandungan untuk memeriksakan kehamilannya sekaligus mengetahui jenis kelamin dari bayi yang ia kandung. Agar supaya, Ajeng dapat menyiapkan pakaian yang sesuai dengan jenis kelamin bayinya tersebut.

Namun, Alan terlalu sibuk hanya untuk sekedar mengantar Ajeng ke dokter. Apalagi saat ini dia sudah mulai kuliah. Kegiatannya semakin padat. Ajeng di paksa untuk jadi mandiri pergi kemanapun sendirian. Namun tidak ke dokter kandungan. Ajeng tidak mau pergi seorang diri ke dokter kandungan, dia ingin di dampingi oleh Alan karena sepengetahuan Ajeng, seorang istri biasanya datang ke dokter memeriksakan kondisi kehamilannya di temani oleh sang suami, bukannya sendirian. Dan lagi, baru-baru ini Ajeng mengetahuinya dari Alan, bahwa biaya periksa kandungan ke dokter itu mahal dan saat ini kondisi keuangan mereka tidak mendukung untuk Ajeng melakukan pemeriksaan tersebut. Alasan ekonomi inilah yang kemudian menjadi alasan utama mengapa Ajeng akhirnya mengurungkan niatnya untuk memeriksakan kehamilannya ke dokter.

Karena Alan belum bekerja, maka selama tinggal di Jakarta, Ajeng dan Alan bergantung pada uang yang diberikan oleh Ayah Alan setiap bulannya. Ajeng dan Alan, harus menggunakan uang tersebut secara bijak agar cukup hingga bulan berikutnya ketika Ayah Alan mengirimkan uang kembali. Uang itu sendiri, di gunakan untuk berbagai macam keperluan, paling banyak untuk kebutuhan rumah tangga seperti air, listrik, gas, dan bahan makanan. Untuk biaya kuliah Alan sendiri yang menanggung adalah Mama Alan, jadi untuk yang satu itu Ajeng ataupun Alan tidak terlalu memikirkannya.

Hanya saja, sepertinya bagaimana pun cara Ajeng berusaha untuk berhemat, uang yang diberikan ayah mertuanya selalu kurang dikarenakan Alan yang selalu saja mencari celah untuk meminta uang bulanan mereka untuk ia gunakan entah untuk apa. Setiap kali Ajeng bertanya untuk apa uang itu, Alan akan selalu memberikan jawaban serupa.

"Kuliah tuh biayanya banyak Jeng. Banyak yang harus aku beli. Dan uang kuliah yang Mama kasih sebenarnya gak cukup," begitu kata Alan suatu hari.

Ajeng hanya bisa menghela napas, sudah berkali-kali mereka terlibat perdebatan persoala ekonomi. Biasanya Ajeng akan menyerah dan memberikan uang begitu saja pada Alan, tapi kali ini tidak, Ajeng tidak tahan lagi. Jika terus-terusan seperti ini, maka mereka jadi melarat nantinya.

"Kalau gitu, kamu minta tambahan uang lah sama mamamu. Jelasin ke dia tentang semua kebutuhan kuliahmu itu. Kalau kamu maksa make uang bulanan terus, nanti kalau habis, kita mau beli bahan makanan pakai apa?"

"Hadeuh… jangan berlebihan deh. Kalau habis kan bisa minta sama bapakmu di kampung. Sekali-kali minta sama dialah. Selama ini kan yang ngebiayain kita ayah sama mamaku terus. Gitu aja kok repot."

Ajeng tak pernah menyangka, Alan akan mengatakan hal tersebut dengan mudahnya. Gitu aja kok repot katanya? Ajeng tidak habis pikir. Setelah apa yang terjadi sebelum mereka pindah, Ajeng bahkan tidak pernah menelepon orang tuanya di kampung jadi bagaimana mungkin dia akan bisa menghubungi mereka sekarang, terlebih hanya untuk meminta uang.

"Gak, gak, aku ga mau. Malu tahu Lan."

"Lah, sama orangtua sendiri malu, tapi kok sama ayahku gak malu?"

Tertegun Ajeng dibuat oleh pertanyaan Alan. Benar sekali. Ajeng menyadari bahwa dia jadi tidak tahu malu karena menerima uang bulanan terus menerus dari mertuanya, tapi sebenarnya kasus Ajeng ini sama dengan Alan yang tidak malu telah menjadi kepala keluarga tapi belum bisa mandiri membiayai rumah tangganya sendiri. Pemikiran ini berkecamuk dalam otak Ajeng, bibirnya hendak terbuka dan mengungkapkan apa yang ia tengah pikirkan, namun kemudian Ajeng merasa takut kata-katanya akan menyakiti hati Alan. Dan lagi-lagi Ajeng hanya bisa menghirup napas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan-lahan bersama dengan emosi dalam dadanya.

Kamu bilang, kamu cinta sama akuWhere stories live. Discover now