Ini Chapter 07

104 3 0
                                    

Hari minggu itu, Ajeng sedang duduk di beranda belakang rumah sambil mengerjakan tugas sekolahnya ketika seseorang yang entah siapa memberi salam di pintu utama rumah. Secara spontan Ajeng ingin memeriksa siapakah yang datang bertamu berhubung suara itu terdengar ading di telinganya. Namun baru saja ia hendak berdiri, terlihat ibu sudah keluar dari dapur dan bergerak cepat menghampiri pintu rumah. Jadilah Ajeng kembali duduk dan mengerjakan kembali tugasnya, pikirnya, nanti saja dia bertanya tentang tamu itu pada ibu.

Namun Ajeng sejatinya memiliki sifat yang ingin tahu alias kepo. Dia sangat penasaran tentang tamu itu dan ingin tahu siapa dia. Dan lagi sang ibu sangat lama melayani tamu tersebut, kapan dia akan muncul dan menjawab rasa penasaran Ajeng?

Karena sudah tidak sabar, akhirnya Ajeng bangkit berdiri dan berjalan menjauh dari buku-buku pelajarannya. Baru saja dia melangkah masuk ke dalam rumah, ibunya sudah muncul dengan raut wajah yang terkejut.

"Lho… kok di sini, tugasnya sudah selesai?" tanya Retno yang mendapat gelengan dari Ajeng. "Terus kenapa kemari? Mau makan sesuatu?" Kebetulan tempat Ajeng saat itu memang dekat dengan dapur, tapi tidak, bukan itu yang Ajeng inginkan.

"Itu yang tadi datang bertamu siapa, bu?"

"Ohh… itu…" Retno mengerti sekarang mengapa Ajeng tiba-tiba muncul. Sambil berjalan kembali ke dapur—dengan Ajeng yang mengekor— Retno pun menjelaskan. "Itu orang nganter undangan pernikahan anak teman SMA ibu."

"Nanti ibu mau datang ke pernikahan anak teman ibu itu?"

"Kenapa memangnya, kamu mau ikut?" Retno telah sampai di dapur dan melanjutkan sesi masak memasaknya sedangkan Ajeng berdiri di ujung meja di mana Retno mengerjakan semuanya.

"Enggaklah, bu. Aku kan gak kenal sama teman ibu itu. Aku cuma nanya doang kok," jawab Ajeng dengan sedikit berjinjit untuk melihat lebih jelas apa yang tengah dikerjakan sang ibu. "Ngomong-ngomong bu, anak teman ibu itu usianya berapa, mamanya seumuran sama ibu, nah berarti masih seumuran sama aku ya?"

"Dia lebih tua dua tahun sepertinya dari kamu. Sekarang masih kuliah katanya, tapi karena sudah bertemu jodoh ya dia memutuskan untuk menikah."

Ajeng mengangguk-angguk. "Kalau aku nikah pmuda juga boleh gak bu?"

"Sembarangan!" Retno menyahut dengan ketus. Matanya melirik Ajeng dengan sinis. "Jangan ngomong gitu lagi kamu, nanti ayahmu dengar, dia bisa marah."

Rama memang sosok yang cukup keras dan tidak suka bercanda. Hal untuk lucu-lucuan bisa jadi masalah serius baginya. Tapi kali ini Ajeng tidak memperdulikan hal tersebut, lagipula dia tidak berniat untuk bermain-main dengan ayahnya. Ajeng hanya ingin menggoda ibunya.

"Ya ampun bu, serius banget. Aku kan cuma bercanda." Ajeng terkekeh.

"Lain kali jangan nanya begitu lagi. Kamu sudah tahu jawabannya."

Tentu Ajeng tahu, kedua orangtuanya ingin Ajeng memiliki pendidikan yang tinggi agar bisa membanggakan keluarga. Hanya itu. Mudah dikatakan namun sulit untuk dilakukan.

><

"Halo."

"Halo… kenapa kamu kayak bisik-bisik gitu? Ada orang disampingmu atau gimana?"

Ajeng menolah ke belakang, memeriksa sekali lagi pintu kamarnya yang tertutup rapat. Seolah-olah pintu itu akan terbuka tiba-tiba dan ibu atau ayahnya akan muncul dan melihatnya tengah teleponan dengan Alan. Ajeng tidak mau itu sampai terjadi jadi dia berbisik-bisik.

"Maaf, orangtuaku gak ngebolehin aku telponan sama cowo sebenarnya." Ajeng memeriksa sekali lagi pintu kamarnya apakah masih tertutup lalu kembali fokus mendengarkan ucapan Alan.

"Strict parents?"

"Iya." Ajeng pernah mendengar tentang orangtua semacam itu yang mana memberi begitu banyak peraturan untuk anak-anaknya dan peraturan itu tidak boleh dilanggar atau mereka akan marah besar.

"Kamu pasti tersiksa ya?"

Tersiksa. Sepertinya benar begitu. Karena Ajeng sangat tersiksa terus memeriksa pintu kamarnya dalam keadaan duduk berjongkok di samping ranjangnya. Tapi Ajeng tidak mau mengatakannya pada Alan, takut disangka gadis yang lemah.

"Enggak terlalu kok. Aku udah terbiasa," kata Ajeng. "Ngomong-ngomong kenapa ya nelpon malam-malam gini?"

"Memangnya enggak boleh ya aku nelpon kamu?"

"Eh bukan gitu maksudku." Ajeng buru-buru menjelaskan takut Alan salah paham. "Aku cuma pengen tahu alasan kamu nelpon. Itu aja kok."

"Gitu…" beberapa detik berlalu, Alan dan Ajeng sama-sama diam. Ajeng menunggu Alan untuk bicara sedang Alan tengah memikirkan apakah dia akan menyampaikan keinginannya atau tidak. "Ajeng besok sepulang sekolah kamu sibuk gak?"

"Mm… enggak. Memangnya kenapa?"

"Kalau aku ajak kamu jalan, mau gak?"

Mata Ajeng membulat mendengarnya. Seumur-umur, ini adalah kali pertama dalam hidup Ajeng seorang cowo mengajaknya jalan bersama. Seumur-umur, ini adalah kali pertama Ajeng diajak jalan oleh seorang cowo dan entah kenapa Ajeng merasa sangat senang karenanya. Ingin sekali dia memekik saking bahagianya namun sadar bahwa Alan tidak boleh mendapati dirinya terlalu bersemangat atau Alan akan menganggapnya sebagai cewe yang udik. Ajeng harus menanggapinya dengan cara seangggun mungkin. Ya begitulah.

"A-aku mau… tapi kita memangnya mau jalan kemana?"

"Ada deh. Nanti pasti kamu bakalan suka pokoknya. Gimana?"

"Iya aku mau!" Dengan semangat Ajeng menyahut. Terlalu bersemangat sepertinya karena beberapa detik kemudian suara ketukan di pintu kamar Ajeng terdengar dan dia disergap rasa takut yang berlebih. "Duh Alan, udah dulu ya. Aku harus pergi. Sampai jumpa besok."

Sebelum Alan sempat menyahut, Ajeng sudah mematikan sambungan telepon. Ajeng beranjak berdiri, handphone ia lempar ke atas ranjang dan sambil berlari ke arah pintu kamar, Ajeng setengah berteriak, "Iya, bu. Tunggu…"

><
Strict parents ini tipikal orangtuaku banget wkwkwkw, tapi gak papa aku sudah biasa😙🤟

Kamu bilang, kamu cinta sama akuDonde viven las historias. Descúbrelo ahora