Ini Chapter 46

40 1 1
                                    

Setiap hari, Alan selalu pulang setelah pukul tujuh malam, beberapa menit setelah Ajeng selesai memasak makan malam dan setelah Alan membersihkan dirinya, mereka akan makan malam bersama.

Hari ini Alan tiba di rumah ketika Ajeng tengah sibuk menata meja makan, Alan menyapa istrinya itu singkat saja tanpa menghentikan langkahnya menuju kamarnya di lantai dua. Saat berada di tangga, Alan menyadari sesuatu hal yang aneh, dia berbalik badan dan membungkuk untuk melihat Ajeng di ruang makan lebih jelas.

Tidak ada sapaan balik?

Itu aneh, tapi Alan tidak berpikir macam-macam. Alan melanjutkan langkah, Alan berpikir untuk mencari tahu alasan Ajeng tak menyambut kepulangannya seperti biasanya, saat makan malam nanti. Untuk sekarang, Alan ingin membersihkan tubuhnya dari keringat yang terasa lengket di kulitnya karena bekerja keras hari ini.

Alan suka kalimat itu, bekerja keras. Sesuai dengan apa yang ia impikan selama ini. Bekerja dan mandiri. Kedua hal tersebut saling terhubung dan dengan begitu, Alan bisa mendapatkan apapun yang diinginkannya dengan usahanya sendiri, dia tidak lagi menyusahkan siapapun. Terima kasih kepada Boy, yang telah memberitahukannya tentang pekerjaan itu pada Alan. Kini, Alan merasa hidupnya jadi sangat berbeda dan tentu saja lebih baik.

Begitu selesai mandi dan berganti pakaian, Alan kembali turun ke lantai satu rumah untuk menemui Ajeng. Mereka akan menikmati waktu bersama.

Alan menghampiri Ajeng yang sedang berada di dapur, tepat di depan wastafel, membelakangi Alan. Merasa tak perlu berbasa basi, Alan langsung bertanya, "Paket dari temanku mana Jeng?"

Suara dentingan piring yang awalnya terdengar ribut tiba-tiba terhenti, Alan pikir Ajeng akan segera menjawab pertanyaannya, tapi kemudian perempuan itu malah melanjutkan kegiatan mencuci piringnya dan mengabaikan Alan.

Aneh, pikir Alan.

Sebelum ini, Ajeng tidak pernah sekalipun mengabaikan Alan dan sekarang Ajeng melakukannya tanpa Alan ketahui sebab musababnya.

Terdorong rasa penasaran, Alan mendekati Ajeng dan menarik lengan perempuan agar berbalik menghadapnya. Dan karena ditarik paksa, gelas yang Ajeng pegang terlepas dan meluncur membentur piring dan peralatan makan lainnya di wastafel sehingga menimbulkan suara bergemerincing dan suara khas benda pecah sedetik kemudian. Tapi Ajeng dan Alan tidak mempedulikan hal itu.

"Apasih Lan?" Ajeng menyentak lengannya dari genggaman Alan dan melemparkan tatapannya yang tak bersahabat pada lelaki itu, dan menunjukkan dengan jelas kedongkolannya yang Alan sedikitpun tidak mengerti bagaimana bisa Ajeng rasakan.

"Kamu yang kenapa? Gak nyapa aku pas pulang, gak ngajak aku makan bareng, gak nyahut pas kupanggil. Kamu kenapa gak kayak biasanya?"

"Aku cuma capek," jawab Ajeng dengan lesu.

"Capek? Emangnya kamu ngapain di rumah sampai bisa capek? Harusnya kalau ada yang capek di sini tuh aku, bukannya kamu."

Tanpa sedikitpun niat untuk membantah, Ajeng mengangguk. "Iya, iya, cuma kamu yang capek. Soalnya aku gak ngapa-ngapain. Maafin aku yang gak ngertiin perasaan kamu."

"Sekarang... paketku di mana?"

Ajeng diam lagi, dan Alan sudah berada pada tahap jenuh melihat Ajeng yang pasif di saat seperti ini.

"Jawab Ajeng! Jangan diam aja, paket itu penting!"

"Gak, aku gak mau kasih tahu!" jawab Ajeng dengan tegas.

"Lho, kenapa? Itu kan paketku."

"Iya! Itu memang paketmu tapi imbas dari paket itu bisa bikin aku juga kena masalah! Bahkan orang tuamu juga bakal kena!"

Kamu bilang, kamu cinta sama akuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang