Ini Chapter 25

74 1 0
                                    

Ajeng baru saja sampai di rumah dan tengah menyandarkan sepedanya di bagian depan teras rumah ketika handphonenya berdering.

"Halo, iya Lan, kenapa?"

"Kamu di mana?"

"Di rumah."

"Dari mana?"

Sungguh, ditanyai seperti ini bukanlah hal yang Ajeng sukai di saat dirinya sedang sangat pusing seperti sekarang ini, namun dia tidak bisa protes dan hanya bisa menghela napasnya. "Aku gak dari manapun, memangnya kenapa sih?"

"Aku tadi liat cewe mirip kamu lagi ngobrol sama Mika."

Ketahuan sudah, Ajeng tidak bisa melarikan diri. Padahal tadi jelas-jelas dia sudah memperingatkan Mika untuk tidak memberitahu siapapun tentang pertemuan mereka, tapi ternyata Alan sudah menangkap basah mereka.

"Kamu di mana sekarang?" Kali ini Ajeng yang bertanya. Niatnya, ingin menemui Alan dan menjelaskan kenapa dia bertemu dengan Mika agar tidak ada salah paham yang tercipta.

"Coba balik badan."

Ajeng melakukan perintah tersebut dan melihat Alan di seberang jalan tengah duduk di atas motor memperhatikannya. Tangannya melambai kepada Ajeng sebagai sapaan, tapi Ajeng tidak membalas lambaian itu.

"Tunggu sebentar ya, aku ke dalam dulu nganterin obat ibu, baru setelah itu kita jalan," kata Ajeng ada lewat handphone lalu mematikan sambungan telepon dan lantas berlari masuk ke dalam rumah.

Tidak hanya memberikan obat untuk ibunya, Ajeng juga meminta izin pergi sebentar dan juga mampir sebentar ke kamarnya untuk menyimpan tespek itu di bawah kasur. Barulah dia keluar menemui Alan dan seperti yang sudah ia janjikan lalu mereka pun pergi.

><

"Kenapa ya … setiap kali aku kesini nenek kamu selalu pergi?" Padahal Ajeng berniat untuk berkenalan dengan nenek Alan. Lama-kelamaan, Ajeng mulai berpikir kalau nenek Alan sengaja menghindarinya.

"Gak usah ngalihin pembicaraan. Jawab aja pertanyaanku tadi, kenapa kamu sama Mika ketemu terus ngobrol?"

Selain gagal berbohong, Ajeng juga telah gagal mengalihkan pembicaraan. Ya, memang itu bukan keahliannya tapi Ajeng merasa sangat buruk melakukannya karena sedikitpun Alan terlihat tidak tergugah untuk menjawab pertanyaannya. Lagipula, memangnya kenapa sih kalau kami mengobrol? Ajeng ingin meneriakkan kalimat itu tepat di depan muka Alan saat ini juga, tapi nyalinya tidak sekuat itu. Yang ada malah alasan lain yang kemudian Ajeng katakan.

"Kebetulan. Aku tadi abis beli obat untuk ibu, terus ketemu Mika," kata Ajeng.

"Yakin? Terus kenapa kalian ngobrolnya lama banget?"

"Lama?" Ajeng membeo, dia merasa tadi hanya sebentar berbicara dengan Mika karena ingin segera menjauhi kembaran Milka itu sejauh mungkin gara-gara ketahuan membeli tespek. Tidak sedikitpun ada keinginan Ajeng untuk berlama-lama dengan Mika tadi.

"Iya, lama. Kalian ngobrolin apa?"

"Hal gak penting." Ajeng mengalihkan perhatiannya dari Alan yang duduk tepat di sebelahnya dan memperhatikannya dengan serius, tengah menelaah ekspresi wajah Ajeng dan mencari kesimpulan dari sana apakah ucapan Ajeng adalah kebenaran atau sebuah kebohongan.

"Kamu bohong."

Ekspresi Ajeng dengan jelas menunjukkan hal tersebut. Inilah kenapa Ajeng ingin sekali mengalihkan pembicaraan. Ajeng tidak mau berbohong lagi pada Alan.

"Sekarang pertanyaannya nambah, kenapa kamu bohong? Kamu selingkuh ya?"

Seharusnya Ajeng marah dan berseru tidak terima akan tuduhan Alan padanya, tapi tidak, Ajeng hanya mendesah kemudian menyangkalnya dengan nada lemah. "Enggak, Alan. Aku gak selingkuh."

"Terus kenapa kamu ngobrol sama dia?"

Kentara sekali Ajeng sedang kelelahan, dan sejujurnya dia sangat butuh waktu untuk beristirahat, tapi pembicaraannya dengan Alan membuatnya tidak bisa melakukan hal tersebut. Menghindari Alan pun rasanya tidak dapat dilakukan karena yang ada, Alan akan semakin curiga. Satu-satunya cara adalah Ajeng harus segera menyelesaikan pembicaraan ini sesegera mungkin.

"Tadi Mika cerita tentang Milka yang katanya makin bandel dan dia minta bantuanku untuk buat Milka sadar dan berubah jadi lebih baik. Itu aja."

"Kamu gak mau kan bantuin Mika?" tanya Alan secara spontan.

"Enggak, kalau kamu gak ngebolehin."

Puas mendengar Ajeng, Alan langsung mengecup puncak kepala Ajeng. "Bagus, sayang, aku gak mau kamu dekat dekat sama si Mika itu. Nanti kamu malah selingkuh lagi."

"Kenapa kamu mikir kayak gitu?" tanya Ajeng. "Emang selama ini pembuktian cinta ku gak cukup buatmu yakin aku bakal setia ya?"

"Iya," Alan menjawab cepat, Ajeng kaget karenanya. "Akhir-akhir ini kamu jadi lebih banyak diam, seolah-olah kamu udah gak ada perasaan apapun sama aku."

"Aku cuma lagi pusing mikirin pelajaran sekolah Lan. Itu doang kok."

"Yakin?"

Ajeng mengangguk yakin. Saat ini, Ajeng masih enggan untuk berbagi dengan Alan akan ketakutannya jadi lebih baik berbohong.

"Berarti kamu gak ada niatan untuk ninggalin aku kan?"

"Gak ada Alan. Lagian untuk apa aku ninggalin kamu, aku kan cinta sama kamu," kata Ajeng sungguh-sungguh. Dia memanglah teramat sangat mencintai Alan dan akan sangat bodoh apabila dia meninggalkan Alan ketika dia menyadari hatinya bertaut pada Alan. Terlebih lagi sekarang kemungkinan besar dirinya tengah hamil, jadi bagaimana bisa Ajeng meninggalkan Alan? Alan seharusnya tidak perlu khawatir, yang perlu takut itu adalah Ajeng karena Alan bisa saja meninggalkannya ketika nanti dia tahu bahwa Ajeng sedang hamil. Dan apabila hal itu benar-benar terjadi, maka mungkin Ajeng akan jadi gila.

><
Nah kan sekarang takut😔😤

Kamu bilang, kamu cinta sama akuWhere stories live. Discover now