Ini Chapter 18

83 1 0
                                    

Setelah pertengkarannya dengan Alan itu, Ajeng benar-benar marah pada dirinya sendiri karena telah menjadi biang keladi atas kemarahan Alan. Akibatnya, Ajeng jadi malas berinteraksi dengan siapapun, yang ia inginkan saat pulang sekolah, hanyalah istirahat dengan tenang di kamarnya tanpa gangguan sedikitpun. Berharap nanti saat dia bangun perasaannya sudah lebih baik dan dia juga telah menemukan solusi dari permasalahannya dengan Alan.

Namun, harapan Ajeng yang sangat sederhana bahkan sangat sulit untuk terwujud. Sepulangnya sekolah, Ajeng menemui ayahnya duduk di teras rumah dan langsung memberondongnya dengan beberapa pertanyaan.

"Gimana Jeng? Pacarmu itu mau kan ketemu ayah?"

Ajeng hanya menghembuskan napas gusar dan berniat untuk menjawab, tapi Rama kemudian sudah memotong.

"Kasi tahu dia, kalau dia gak mau ketemu sama ayah, lebih baik kalian putus aja."

Emosi yang sejak tadi Ajeng tahan akhirnya meluap mendengar ucapan ayahnya. Semudah itu Rama menyuruhnya putus dari Alan, padahal Ajeng telah mengatakan bahwa ia mencintai Alan dengan sangat.

"Ayah gak capek apa ngatur-ngatur hidupku mulu? Soalnya aku capek yah digituin. Sekali aja tolong jangan ikut campur dalam urusanku. Aku mohon!" kata Ajeng terdengar lelah namun tetap tegas.

"Kamu anak ayah, jadi wajarlah ayah...."

"Gak wajar!" Kali ini Ajeng yang memotong ucapan Rama dengan sengit. "Itu sama sekali gak wajar! Seharusnya ayah gak boleh ngatur kehidupan pribadiku. Ayah seharusnya dukung aku selama hal itu positif."

Rama memicingkan mata mendengar sanggahan Ajeng. Dalam otaknya, Rama bertanya-tanya sejak kapan putrinya ini tahu cara melawan orangtua? Dan satu-satunya jawaban yang Rama dapatkan adalah bahwa kemungkinan besar yang mempengaruhi Ajeng untuk berperilaku seperti ini adalah pacarnya itu.

"Kamu bilang pacaran positif? Sedangkan kamu setelah punya pacar jadi membangkang gini sama orangtua... kayaknya kamu salah," kata Rama sarkatis.

"Bukan gitu yah!"

"Bukan gitu gimana?!" Rama membentak dan segala macam kalimat bantahan yang ada dalam otak Ajeng, langsung sirna. Bukan karena Ajeng takut, tapi karena Ajeng sadar bahwa ia tidak akan bisa melawan apapun yang ayahnya katakan, jadi lebih baik memang dia diam. Rama sangat keras kepala dan dia tidak suka ditentang, apabila dia mengatakan sesuatu maka oranglain harus menerimanya suka atau tidak.

><

Ajeng benar-benar bingung memikirkan bagaimana cara untuk meminta maaf pada Alan dan memperbaiki hubungan mereka. Satu-satunya cara menghubungi Alan yaitu lewat pesan singkat atau telepon tidak berguna sedikitpun karena Alan tidak menanggapi. Ketika Ajeng berniat ingin menemui Alan, ia malah semakin bingung memikirkan di mana Alan berada agar mereka bisa bertemu, soalnya, Alan itu sangat tidak bisa berdiam di rumah barang sebentar. Alan bisa berada di manapun, tapi tidak di rumahnya.

Jadi Ajeng akhirnya memutuskan untuk menghubungi teman-teman dekat Alan yaitu Dodit dan Roni. Untungnya, sebelumnya Alan telah memberikan nomor telepon dua orang tersebut sehingga Ajeng bisa menghubungi mereka di saat genting seperti sekarang ini.

Pertama adalah Dodit, yang pada nada dering pertama tidak mengangkat telepon dari Ajeng. Lalu Ajeng kembali menelponnya dengan hasil sama dan ternyata, Roni pun sama. Ajeng merasa sangat putus asa karena tidak tahu lagi harus menghubungi siapa untuk mengetahui keberadaan dan keadaan Alan.

Namun kebingungannya segera sirna begitu Dodit menelponnya balik dan mengatakan keberadaan Alan.

"Alan ada di rumah neneknya."

"Gimana keadaannya? Dia masih marah ya sama aku?"

"Tentang itu..." Dodit terdengar ragu hendak menjawab pertanyaan Ajeng. "Sebenarnya Jeng, ada sesuatu yang harus ku kasih tahu ke kamu."

"Apa?" tanya Ajeng dengan rasa penasaran akut.

"Nenek Alan sebenarnya lagi gak di rumah dan Alan gunain kesempatan itu buat mabuk-mabukan."

"Apa?!" Ajeng berteriak lalu kemudian langsung menutup menyumpal mulutnya dengan tangan ketika sadar bahwa teriakannya bisa membangunkan orangtuanya dan Ajeng tidak mau hal tersebut sampai terjadi. "Kamu serius, Dit?"

"Serius. Kalau kamu gak percaya datang aja kesini."

"Gimana caranya? Aku gak mungkin keluar rumah malam-malam." Menelpon cowo saja Ajeng di larang apalagi menemui seorang cowo, malam-malam pula. Akan sangat marah Rama dan Retno jika mereka sampai tahu.

"Oh... kalau gitu kamu temuin Alan besok aja. Aku bisa kok jagain dia malam ini."

Namun Ajeng khawatir pada Alan dan kondisinya. Ajeng ingin memeriksa keadaan Alan yang ia yakini berada dalam situasi ini karena marah padanya. Rasa bersalah yang bercokol dalam dadanya, memaksa Ajeng untuk mengambil tindakan sebagai bentuk tanggungjawab pada Alan. Selain itu, bukankah Ajeng sangat mencintai Alan dan normal baginya jika ia ingin membersamai Alan saat ini. Sangat rentan bagi orang yang mabuk melakukan hal-hal aneh, dan akan sangat baik apabila Ajeng ada di samping Alan untuk menghentikannya melakukan hal-hal aneh tersebut.

"Gak, gak... aku datang ke sana. Malam ini juga."

Telepon pun di putus Ajeng kemudian, lalu ia bergegas turun dari ranjang dan mulai berpakaian. Setelah itu, dengan mengendap-endap, Ajeng keluar dari kamarnya, berjalan menuju pintu utama rumah tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Ajeng meringis ketika suara pintu rumah yang ia buka secara perlahan-lahan terdengar berderit dan begitu juga saat ia menutupnya, dan Ajeng masih terus berhati-hati sampai dia menarik sepedanya keluar dari garasi kecil samping rumah dan mendorongnya ke jalan.

Ajeng baru mulai mengayuh sepedanya setelah cukup jauh dari rumah dan juga, ia baru bisa bernapas lega ketika dia menoleh ke belakang dan melihat tidak ada siapapun yang mengikuti atau melihatnya. Di bawah cahaya bulan yang terang itu, Ajeng mengayuh sepedanya menuju rumah Alan, katanya sedang mabuk.

><
Spoiler next chapter: Masalah besar:>

Kamu bilang, kamu cinta sama akuWhere stories live. Discover now