Ini Chapter 03

248 13 0
                                    

"Kalau aku kuliah di Bandung, memang ibu gak papa kutinggal?"

Retno mengangkat kedua bahunya. "Ibu sih gak papa. Ayahmu tuh yang kenapa-kenapa, soalnya dia kan gak bisa jauh dari kamu." Retno melirik suaminya yang duduk tepat di sampingnya tengah menyantap makan malam.

Senyuman Ajeng tercipta kala menyadari bahwa sang ayah tengah berpura-pura tidak mendengar pembicaraannya dan ibunya. Sudah biasa seperti itu, ayah Ajeng, Rama memang cukup sensitif apabila ada seseorang yang membahas tentang putrinya yang akan tinggal jauh darinya demi pendidikan.

"Apa ... aku nggak usah kuliah aja ya?"

Rama hampir tersedak kuah sop ayam mendengar pertanyaan Ajeng. Dia mendongak menatap Ajeng dengan mata yang memicing seolah mengancam Ajeng dan mengabaikan istrinya yang tengah mengelus-elus punggungnya. "Jangan ngomong sembarangan. Ayah gak suka dengar kamu ngomong begitu."

"Ah, tapi kan ayah gak mau pisah sama aku, jadi ya aku kan lebih baik gak kuliah aja. Jadi kita gak terpisahkan gitu lho," kata Ajeng.

"Tidak, tidak." Rama menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kakekmu mau kamu kuliah... sekolah yang tinggi dan harus seperti itu. Jangan karena ayah cita-citamu dan cita-cita kakekmu terhenti."

Rama melanjutkan sesi makannya yang tertunda sebentar sementara istri dan anaknya saling tatap dengan senyuman lebar di bibir masing-masing. Berhasil, malam ini mereka berhasil membuat Rama yang cuek menunjukkan sedikit kepeduliannya dengan mengakui kalau dia memang tidak suka berjauhan dengan Ajeng.

Ayah Ajeng itu hanya berbicara sesekali, hanya berbicara ketika butuh, jika tidak maka dia akan terus saja diam dan melakukan kegiatannya tanpa suara sedikitpun. Ajeng dulu bertanya-tanya bagaimana bisa sang ibu bisa tahan tinggal dan hidup bersama dengan pria yang bersikap dingin seperti Rama?

"Ibu sudah terbiasa, nak. Lagipula gak selamanya ayah kamu begitu kok. Kadang dia bisa jadi banyak bicara, contohnya kalau ibu sedang sakit," begitu kata Retno sebagai jawaban atas pertanyaan Ajeng suatu hari. Dan jujur saja, Ajeng tidak puas dengan jawaban tersebut. Jadi Retno kembali berkata, "Ibu cuma menerima satu kekurangan ayahmu Jeng, kamu pasti tahu sendirikan, ayahmu itu punya banyak kelebihan dan kelebihan itu gak akan bisa tertutupi hanya dengan satu kekurangan dia."

Cinta di antara kedua orangtua Ajeng sangat kuat. Ajeng tahu betul tentang itu dan dia benar-benar bahagia melihat kedua orangtuanya seperti itu dan berharap akan terus begitu sampai waktu lama. Ajeng juga berharap suatu saat nanti dia bisa bertemu dengan seseorang yang akan bisa ia cintai dan mencintainya sebagaimana orangtuanya saling mencintai.

"Dan ngomong-ngomong Ajeng, gimana sekolahmu nak? Jadi siswa kelas dua belas, kelas baru, teman baru, ya kan?" tanya Retno, tidak membiarkan kekosongan mengambil alih makan malam keluarganya.

"Gak ada kelas yang di acak tahun ini bu. Jadi Alhamdulillah aku masih sekelas sama teman-teman lamaku, kayak Milka contohnya."

"Milka ya..." Retno manggut-manggut. "Gimana dia sekarang, dia udah jarang datang kemari."

"Dia baik bu. Cuma mungkin gak ada waktu aja buat kesini." Bukan tidak ada waktu sebenarnya, hanya saja Milka terlalu sibuk memikirkan ingin menyemir rambutnya dengan warna apa esok hari dan dia tidak ada waktu untuk hal lain. Tidak heran rambutnya suka warna warni. "Ibu tahu enggak, rambut Milka dia warnain ijo lho ... eluruhnya."

Retno tergelak mendengarnya, begitu juga Ajeng yang memaparkan tentang kelakuan lucu Milka. "Milka tuh ada-ada aja sih, emangnya dia gak takut apa dimarahi gurunya?"

"Dia udah dimarahin bu tadi pagi, disuruh sama bu guru supaya rambutnya di cat hitam lagi, tapi Milka nya gak mau. Dia hampir nangis, tapi tetap di paksa sama bu guru. Mungkin besok rambutnya udah hitam lagi, soalnya udah dari awal masuk di suruh tapi gak dia lakuin."

Kamu bilang, kamu cinta sama akuDonde viven las historias. Descúbrelo ahora