Prolog

508 25 3
                                    

Perjalanan manusia yang berusaha menemukan Nirwana miliknya lewat karyanya.


Suasana pagi itu cukup dingin, beberapa orang pasti akan berpikir untuk menarik kembali selimutnya untuk melanjutkan mimpi indah mereka, dalam dilema itu ada seorang remaja yang meyakinkan dirinya untuk memulai pagi ini tanpa harus berinteraksi dengan manusia lain.

Rizky Akara, remaja berusia 17 tahun berzodiak Virgo itu mengawali paginya dengan bersekolah, diperjalanan penuh keheningan itu, hatinya dipenuhi kontra, sebenarnya apa itu tujuan sekolah?. Para siswa harus bangun 2 jam lebih pagi untuk menyiapkan diri ke sekolah. toh, saat lulus nanti yang dicari skill yang kita miliki, bukan 11 mapel penuh teori yang memenuhi kepala setiap saat.

"Aku membencinya, karena disana ada banyak manusia yang berambisi, sedangkan aku tidak" Gumamnya dalam hati.

Setelah 15 menit perjalanan dari rumah, akhirnya Akara sampai di sekolahan, tempat kedua yang dibenci setelah rumahnya sendiri. Suasana pagi itu masih cukup sepi, mungkin karena dia datang terlalu pagi. Saat melewati kantin Akara tak sengaja bertemu kawannya, Marsel Dwi Putra itulah namanya. Seorang lelaki dengan tinggi 165 cm itu, kelihatan masih belum matang untuk masuk ke ranah SMK. Tiba-tiba ada suara tak asing yang melewati kupingnya. "EH KIIII, SINI MAMPIR BENTARR" teriak Marsel tertuju kepada Kiki.

Akara langsung menghampiri Marsel dengan wajah datar. "Lu ngapain pagi-pagi udah nongkrong disini?" tanya Akara, "Alah, biasa dia mah Mas Kiki" sahut Bu Retno. Bu Retno adalah ibu kantin di SMEANSA ini, sosoknya yang ramah dan perkataan yang penuh candaan selalu menemani saat kami nongkrong disini.

"Hehe, biasa bro tanggal tua ini". jawab Marsel dengan wajah tak berdosanya.

"Kebiasaan deh lu nyet" ucap Akara dengan suara dinginnya itu.

Saat sampai di kelas, Marsel langsung menyapa setiap orang yang lewat didepannya. Senyumnya yang ramah mampu membuat orang senang bila ada didekatnya. Berbeda dengan Akara yang langsung duduk di kursinya, dia tak menghiraukan orang-orang disekitarnya dan langsung menyetel musik dengan earphone putih kesayangannya.

Matahari dan bulan itu berbeda, tetapi mereka saling melengkapi untuk menyinari bagiannya. Dan disini ada dua manusia yang berteman dengan perbedaan sifat yang jauh itu.

Bel tanda masuk telah berbunyi, itu menandakan para murid sudah siap untuk menerima pelajaran pada pagi hari ini. Namun, yang berbeda adalah pagi ini tidak ada guru yang datang karena sedang ada rapat.

Momen seperti ini selalu dimanfaatkan oleh murid untuk ramai, ada yang bermain atau tidur di mejanya, ada juga yang bucin dengan tanpa dosa memamerkan kemesraan mereka. Beberapa anak keluar, mungkin mereka lapar atau sekedar menghirup udara segar agar otak tak hanya dipenuhi dengan pelajaran saja.

Dalam keramaian itu Akara langsung mengambil pensil dan sketchbook miliknya. Seni adalah caranya berekspresi dengan segala depresi yang dirasakannya. Dia mulai menggambar dengan lengan penuh goresan itu dikertasnya. Akara menyukai seni bukan karena alasan, baginya menggambar dan menulis sudah cukup untuk menghilangkan berbagai suara dikepalanya.

Kelas saat itu ramai, ada banyak manusia berkumpul dengan segala candaannya. Ekspresi mereka tak bisa bohong, tawa itu adalah tanda mereka benar-benar menikmati hidupnya.

Tak berselang lama, Marsel datang menghampiri seperti kucing yang tak diberi makan seminggu. Dia langsung mengajak Akara untuk ke kantin karena dia lapar.

"Ngegambar mulu, ga bosen apa lu?" tanya Marsel.

"Kalo ga gini, ga hidup dong aku" jawab Akara.

"Ke kantin yuk, gue beliin kuy ada uang lebih nih" ajak Marsel.

AbadiWhere stories live. Discover now