Chapter 11

31 6 0
                                    

Chapter 11

Awal dari sebuah prosa.

Diantara gelap yang melebihi malam, Akara terduduk dengan rokok yang menyala. Ditemani kopi tanpa gula favoritnya, ia memikirkan segalanya seorang diri. Beragam lara ia pendam dalam ketenangan raut wajahnya.

Apakah seseorang yang selalu menjadi bahan perbandingan sepertinya mampu mendapatkan cinta, atau ia hanya akan menderita dalam kesendirian yang menyiksa. Disela angin yang menyentuh kulitnya, ia memandang langit malam dengan gelisah. Berharap hari-harinya akan menjadi indah bila dicintai oleh seseorang.

“Sial, sejak kapan gue mikirin kayak gini. Apakah ini semua bakal terealisasi?” lirih-nya menembus sepi angin malam.

Dan, angannya selalu meminta perlindungan. Lindungilah mereka yang selalu menemaniku, Tuhan. Untuk Mama dan Nenek yang menjadi alasanku untuk tetap teguh menjalani hidup. Buatlah raga ini kebal dengan segala bentuk derita. Untuk Nenek yang selalu menjadi tempatku pulang, dikala aku takut kembali ke rumah dan untuk Mama yang menjadi alasanku untuk tetap menjalani hidup ini. 

Tak apa, aku akan mendoakan kalian dalam lara yang kusimpan.

Di pagi hari, waktunya untuk Akara bangun dan pergi ke sekolah. Rasanya baru lima menit menutup mata. “Ah, baru juga merem. Udah balik ke tempat berengsek itu lagi” gumamnya sesaat setelah ia bangun.

Di dapur, Mamanya telah siap menyajikan makanan untuk sarapannya dan adiknya. Tak lupa juga ia bergegas melaksanakan sholat subuh sebagai kewajibannya. Tuhan tak pernah tertidur, terkadang kita saja yang lupa dengan kuasanya.

“Semangat, yuk bisa yuk” ucapnya saat bercermin di kamar.

Dengan tubuh yang cukup atletis dan wajah tirus, dibarengi dengan tinggi badan yang terbilang cukup ideal. Menjadikannya cukup populer di sekolah, entah sudah berapa yang berusaha mendekatinya. Namun, faktanya mereka selalu menyerah setelah menghadapi sifat dingin Akara.

“Ki, kalo bisa nanti sebelum pulang. Mampir sebentar ke rumah Nenek” ucap Mamahnya.

“Oke bos” ucapnya setelah mencium kening ibunya.

“Kak, nanti bagi-bagi ya” ceplos Altendra.

Dengan ekspresi datar, Akara menanggapi ucapan adiknya. 

Di motor matic yang ia kendarai, terbayang jelas wajah seorang perempuan. Seseorang yang ditemuinya beberapa hari lalu, menyapa hangat kepalanya. Terbayang sampai ia hampir tak fokus berkendara. Untuk kesekian kalinya, ia benar-benar dibuat bingung. 

Untuk hal yang akan “Abadi”, terlihat jelas parasmu dalam kekosongan kekal ini.

Parkiran terlihat masih sepi, hanya ada beberapa motor saja yang terparkir. Bahkan beberapa teman cowoknya yang biasa parkir, belum berangkat. Padahal waktu hampir menunjukkan pukul tujuh.

“El, ga berangkat juga? Biasanya dia yang pertama sampe deh” gumamnya.

Sesaat setelah menyalakan rokoknya, ia duduk dipojokan dan menikmati sebatang nikotin itu. Hisapan demi hisapan ia nikmati, ia terlihat sangat brandal dengan perawakannya saat ini. “Tumben dia belum dateng juga”.

Sekitar sepuluh menit, Akara masih tak melihat kawan-kawannya tiba. Ia menebak jika mereka semua pasti membolos hari ini. Lagi-lagi mereka melakukan kegiatan yang jelas-jelas akan merusak mereka di masa depan nanti. Tapi, bukan berarti jika mereka semua adalah anak nakal.

Ada suara yang tak asing didengarnya, suara lembut yang menghunus telinga miliknya. Ternyata, perempuan itu telah tiba. Ia sedang bercakap dengan temannya, tak ada jeda dalam mengamati. Raut serius yang biasa diperlihatkan perlahan berubah menjadi raut penasaran. 

AbadiWhere stories live. Discover now