Chapter 7

69 5 0
                                    

Chapter 7

Cahaya dalam derita

Tidak pernah ada yang menginginkan yang namanya sebuah masalah, dalam hidup yang hanya satu kali ini. Semua manusia ingin memiliki hidup yang bermakna, dalam artian bahagia yang diinginkan setiap insan.

Dalam pengertianmu, sebenernya apa definisi sebuah "keluarga", apakah itu adalah tempat kamu berlindung dari berbagai masalah dan tempatmu mengadu dari kerasnya dunia. Dalam pengertian umum memang dikatakan seperti itu, namun untuk beberapa anak ada yang kurang beruntung. Karena sebuah kerenggangan di hubungan Ayah dan Ibunya.

Tergeletak lemas seorang pria paruh baya di sofa ruang tamu, wajahnya terlihat mabuk mengingat ia pulang dengan sempoyongan tadi pagi . Penampilan kusut yang diiringi dengkuran keras terdengar memenuhi ruang tamu.

Ayah adalah tokoh bijaksana dalam sebuah dongeng, sifatnya yang tegas terkadang mampu membuat anak luluh. Tanpa harus dibentak dan diberi kekerasan untuk menurut. Dalam hidupku, aku tumbuh tanpa peran sesosok Ayah disisiku. Ayahku adalah seorang yang mementingkan temannya daripada keluarganya. Itu adalah kesimpulan yang dapat kuambil setelah sangat lama aku mengenalnya, dan dari perilaku yang diperlihatkannya.

Akara berbisik pelan di telinga adiknya, "Jangan berisik, Ayah lagi tidur. Nanti kalo bangun bisa repot, habis mabuk dia".

Adiknya yang memahami ucapan Akara, memelankan suaranya untuk menghormati perintah kakaknya. Di rumah yang cukup besar itu, nampak sangat sunyi dan tak ada warna sama sekali di setiap ruangannya. Terlihat ibunya mengeluh tanpa henti di dapur. Orang tua Akara baru saja bertengkar yang membuat suasana rumah cukup suram.

Tidak ada yang lebih mengerti keharmonisan selain Tuhan, dimana letak bahagia untuk anak ini. Tanpa perasaan tulus yang membimbingnya dia hanya remaja berusia 17 tahun yang diminta semesta kuat untuk menghadapi keadaan. Anak kedua yang sejak kecil memang sudah diharapkan bisa merubah nasib keluarganya itu kerap kali menyimpan lukanya seorang diri. Lantaran ia meyakini hadirnya adalah derita untuk orang lain.

Tekanan yang setiap hari dirasakan selalu membuatnya ingin mengakhiri hidupnya, senyumnya palsu, tawanya adalah representasi dari kesepian yang dirasakannya. Bagaimana bisa seorang anak hidup tanpa bimbingan orang tuanya, lalu dipaksa mengemban harapan besar. Ceritanya tak pernah didengar bahkan saat benar-benar ingin mati.

"Aku akan abadi, namun itu nanti saat aku sudah dianggap di keluarga ini" ucapnya selalu saat ia ingin menenggak 5 obat tidur secara bersamaan, namun ia selalu membatalkannya.

Dimana aku sebenarnya, apakah tempatku untuk pulang itu tidak ada. Jika memang benar, aku mohon bawa aku ke sisimu sekarang. Dirinya yang tak percaya dengan cinta karena hubungan ayah dan ibunya. Baginya, cinta hanyalah adiksi yang menyiksa hati.

Tetapi, tak jarang ia ingin kehadiran seseorang di hidupnya. Dibuat bahagia dengan seseorang yang memberikan kasih sayang. Yah, sampai saat ini pun ketulusan yang nyata hanya sebuah angan baginya.

Setelah berteman dengan Marsel, Akara perlahan-lahan mulai merubah pandangannya tentang teman. Sosok teman yang ada dipikirannya adalah seorang manusia yang selalu memberi beban tanpa jeda. Seorang manusia tanpa rasa malu yang membuatnya selalu kerepotan.

"Disana, ditempat yang tak pernah terjangkau oleh manusia. Tangisanku meluncur bebas mengingat keadilan yang tak pernah diberikan oleh semesta"

Hujan selalu membawa kenangan buruk, luapan emosi selalu terbayang dalam kepala Akara. Barang-barang yang mulai terlempar tanpa henti, cacian penuh benci terucap mudah dalam mulut orang tuanya. Anak kecil berumur 5 tahun dipaksa untuk melihat keburukan orang tuanya tanpa tau harus berbuat apa.

AbadiWhere stories live. Discover now