Chapter 9

47 6 0
                                    

Chapter 9

Harapan yang mulai terwujud

Untuk apa menjadi seorang yang sempurna diantara kumpulan manusia tanpa moral. Yang berkata dengan seenaknya, yang tak peduli dengan perasaan orang lain. Menolak fakta dicap sebagai seorang sampah, sungguh aku ingin mereka sirna dari dunia.

Pagi itu, Akara sedang menulis puisi di ruang tempatnya melepas penat. Kamarnya tertata dengan sangat rapi, barang-barang berada di tempatnya, tanpa kotoran apapun disana. Hanya ada sebuah foto masa kecilnya diatas meja belajarnya, selalu dipandangnya foto itu untuk mengenang masa yang hanya memikirkan bagaimana cara kabur saat tidur siang.

Apa yang membuatmu ragu adalah saat kau yakin akan kegagalanmu. Tanpa arah yang jelas, kau hanya berceloteh tanpa beban di warung kopi. Menyalahkan keadaan bahkan tak jarang kau menyalahkan Tuhan atas kegagalan yang kau alami.

Diantara banyaknya puisi yang ia tulis, ada beberapa yang sukar untuk dipahami hanya dengan logika. Tak sedikit dari tulisannya yang harus kau tela'ah dengan perasaan. Indah dan halus saat dibaca adalah ciri puisinya. Lebih baik kau tak perlu memahaminya, karena setiap baitnya mengutarakan kesepiannya.

"Perlahan, dunia yang kau anggap Neraka ini. Akan menjelma menjadi Surga fana, saat kau menerima takdirmu"

Akara yang tak sengaja mengecek handphonenya, begitu kaget saat jam sudah menunjukkan pukul 3 petang. Entah sudah berapa rokok yang ia hisap, sampai satu bungkus rokoknya tinggal sisa setengah.

"Buset, perasaan tadi baru jam sembilan pagi, kok sekarang udah mau ashar aja" celotehnya sambil meminum kopi tanpa gula favoritnya.

Entah sudah berapa kata yang ia tulis disana, entah sekotor sekarang apa tangannya karena tinta yang mengenainya. Aesthetics, kata itu selalu muncul saat ia sudah selesai melakukan hobinya.

Angin yang berhembus cukup kencang disertai dengan awan yang mulai diselimuti awan hitam. Memberikan sensasi tenang dan ngeri secara bersamaan. 

Di dapur, kali ini Akara melakukan simulasi master chef. Bahan-bahan masakan yang berceceran menandakan keseriusannya dalam memasak, selain jago melukis; Anak ini juga pandai dalam memasak, mungkin juga dipengaruhi ajaran ibunya untuk selalu mandiri dalam segala situasi.

Nasi goreng sudah tersaji dalam piring, dengan beberapa toping yang ditambahkan membuat penampilan masakannya terlihat menggiurkan untuk disantap.

"Buset, jago juga gue buat nasi goreng. Alamat dipanggil chef Juna nih, haha" tawanya lepas seperti anak kecil saat ini. 

Sambil menonton anime favoritnya, ia mulai menyantap makanannya. Riang, ekspresi itu memenuhi wajahnya.

"Nyapu, ngepel, nyuci, masak. Udah semua, nah sekarang tinggal nyebat" 

Baru mau mengambil rokoknya, tiba-tiba pintu rumahnya diketok oleh seseorang. Entah siapa yang mampir, dengan raut masam, Akara mulai membukakan pintu dan mempersilahkan orang itu masuk.

"Iya, siapa ya?" tanya Akara sambil mengusap malas rambutnya "Dih, bisu apa gimana. Ga nyaut samsek"

"Hitam?"

Ternyata orang yang berada di depannya ialah Marsel, dengan raut kebingungan Akara menebak-nebak apa yang terjadi dengan kawannya itu.

"Lu habis ngapain anjir, kok jadi hitam kumel kayak gini?" mata Akara melotot dengan penuh kaget.

"Gue habis jatuh Ki, hehe" tawanya pecah saat mengatakan itu "Tadi nih kan habis nganterin pulang cewek kan, nah pas perjalanan pulang tuh ngehindarin kucing. Eh, malah kebablasan masuk ke got anjir. Mana ni baju baru beli lagi".

AbadiWhere stories live. Discover now