Chapter 14

30 4 0
                                    

Chapter 14

Hati yang pasti.

Riuhnya siang selalu menjadi masalah untuknya, bagaimanapun juga ramai adalah suatu hal yang paling kuhindari. Selalu saja aku terjebak diantara pasti atau tak pasti, diantara semua itu; Aku menyimpan seseorang didalamnya. Bisakah aku menggapainya, atau mungkin aku akan kehilangannya.

Saat kau mendapatkan sesuatu, diwaktu yang sama juga kau pasti kan kehilangan sesuatu.

Begitulah hidup yang dijalani Akara sampai detik ini, kehilangan bukan hal yang mengejutkan lagi baginya. Karena sampai hari ini, kesepian adalah teman yang menemani langkahnya menuju masa remaja. Menjadi manusia yang selalu sendiri bukanlah keinginannya, namun itu takdir yang tak bisa dilepas olehnya.

Takdir? aku tak percaya. Hanya saja ini semua diluar kendaliku”

Seusai pelajaran di lab, Akara dan kedua temannya mendapat perintah untuk mengantarkan galon ke ruang guru oleh guru pembimbing mereka. Mereka selalu menjadi babu favorit untuk pekerjaan seperti ini. Dan, para manusia itu selalu mengatakan dengan dalih penambahan nilai sikap. Sungguh, pemikiran orang dewasa itu rumit.

“Perasaan kalo kita disuruh-suruh kayak gini ga pernah tuh dikasih upah” celetuk Marsel.

Saat Akara dan Christian mengangkat galon, Marsel hanya berjalan santai karena alasan tak ingin tambah pendek gara-gara mengangkat barang yang berat.

“Kerja rodi, gue jadi tau penderitaan pas dijajah kalo lagi nganter galon kayak gini” pungkas Christian.

“Mau gimana lagi, namanya juga takdir” sambung Akara dengan nada lelah.

Ramai, bising. Semua tercampur menjadi satu. Ada banyak anak yang bisa berekspresi saat Akara melihatnya, senyumnya mereka terlihat tanpa beban. Tak perlu bingung untuk mengeluarkan uang untuk jajan ataupun bingung mau makan apa di hari esok.

Setelah sampai diruang guru, mereka bergegas kembali ke kelas. Tapi, Marsel malah mengajak Christian dan Akara untuk berkeliling sebentar.

Saat sampai di taman, Marsel mulai membuka obrolan. Untuk seorang yang benar-benar bodoh dalam pelajaran, ia nampak lebih pintar dalam mencari topik keributan.

“Kayaknya bakal ada yang punya cewek nih” ucap Marsel dengan tawa.

Sontak saja kedua mata temannya itu mengarah pada Akara, dia terlihat bingung mau menjawab apa. Jikapun ia salah memberi respon kedua temannya itu pasti akan terus-terusan membully-nya.

“Temen, belum pacar. Tapi semoga aja lancar” tukas Akara dengan nada dinginnya.

“Tuh kan, tetep aja lu bakal nelen ludah lu sendiri” ucap Christian penuh satir, ekspresinya terlihat begitu mengejek Akara.

Mereka berdua terkekeh mendengar perkataannya, Christian dan Marsel tak menyangka jika kawan kulkasnya itu dapat merasakan fase jatuh cinta juga.

Langit terlihat biru, dikelilingi awan putih membuat mata betah untuk memandang. Disela pemandangan yang csndu itu, Keisa masih berkutik dengan tugas yang belum juga selesai. Padahal pengumpulan tugas akan berakhir siang ini.

“Gila, tuh guru kalo ngasih tugas gak ngotak co” tuturnya sambil merangkum 10 halaman yang belum selesai sedari tadi.

Beragam ocehan terdengar dari mulut Keisa, ia yang selalunya tenang mendadak menjadi sangat brutal. Pelajaran di sekolah itu hanya beban,
pasalnya mereka dituntut sempurna untuk menyelesaikan pekerjaannya. Bahkan jika mereka memberikan opini, hanya tatapan sinis saja yang akan mereka hadapi.

Perubahan zaman terkadang membuat beberapa generasi menjadi lemah, ada yang ketergantungan dengan teknologi, ada juga yang bersembunyi di zona nyaman miliknya. Tanpa mau bergerak untuk meraih mimpinya, hanya terduduk lemas meratapi masa depan yang tak pasti.

AbadiWhere stories live. Discover now