Chapter 1

242 20 4
                                    

Chapter 1

Semua perasaan lara ini adalah cara semesta untuk membuatku hidup setiap saat.

Rumah adalah tempat kita bernaung atas segala luka, bukan hanya sekedar bangunan, bukan juga tempat kita makan dan tidur saja. Namun, faktanya banyak remaja yang belum bisa merasakan hangatnya keharmonisan dalam sebuah rumah.

Minggu pagi ini, Akara memulai aktivitasnya dengan bekerja disebuah toko ritel milik tantenya, jam kerja yang dapat diaturnya sendiri itu, membuatnya tidak kewalahan dengan tugas-tugas sekolahnya. Toko ini memang cukup kecil, namun baginya ini adalah sumbernya untuk mencari uang. Disaat remaja lain sibuk menyenangkan egonya, sedangkan Akara sibuk bekerja untuk mencukupi kebutuhannya.

Dia melakukan kerja part time bukan karena alasan, melainkan untuk meringankan beban Mamanya agar tak usah pusing untuk memberikan uang jajan. Kiki tak terlahir dari keluarga kaya, ia terlahir di keluarga sederhana dengan kondisi orang tua yang selalu bertengkar setiap hari karena masalah ekonomi, karena faktor itu ia harus memenuhi kebutuhannya sendiri.

Akara merupakan anak kedua dari tiga bersaudara, dia memiliki kakak laki-laki dan adik laki-laki. Walaupun hubungan bapak ibunya cukup rumit, ia bersyukur hubungan dengan saudaranya baik-baik saja.

"Beberapa anak ada yang terlahir sebagai figuran saja dikeluargannya"

Suasana toko hari ini cukup sepi, mungkin karena beberapa orang lebih suka berbelanja di online shop daripada harus mondar-mandir ke supermarket. Menghitung sudah jadi tugasnya sebagai kasir, awalnya pasti banyak kesalahan yang dia lakukan, namun dalam kurun waktu tiga bulan dia sudah cukup mahir dalam pekerjaannya itu. "Jujur saja, ini cukup merepotkan karena harus selalu berhadapan dengan berbagai macam sifat customer disini" monolog Akara.

Enam jam telah berlalu, karena hari ini libur ia memperpanjang jam kerjanya. Mungkin, karena dia butuh uang yang lebih banyak kali ini, Tantenya datang menghampiri dan memberikan pertanyaan. "Ga bosen apa kerja terus Ki?, tanya Tantenya, "Ngga tan, nanti kalo bosen paling ngilang aku hehe" balasnya dengan tawa kecil.

Bukan Akara yang menginginkan keadaan seperti ini, sebenarnya dia lebih suka melukis dan menulis saja dikamar, mengisi waktunya dengan seni. Namun, semesta memberinya tanggung jawab di usianya, membuatnya dewasa dengan segala tekanan yang diberikan, menempa dirinya untuk selalu bisa, walau hati kecilnya selalu memaksa dirinya untuk beristirahat sejenak.

Sebelum berpamitan, Tantenya dengan pertanyaan random yang membuat Akara bingung harus menjawab apa, bukan karena pertanyaannya sulit ataupun menjebak, tapi karena hampir setiap hari, pertanyaan seperti ini terdengar ditelinganya.

"Sekali-kali kalo kesini bawa pacarmu lah Ki, biar Tante ada temen ghibah nya haha" goda Tantenya

"Udah dibilang ngga punya pacar, kok ngeyel terus sih Tan, heran" balas Akara.

"Masa SMA itu cuma sekali, jadi jangan ngebuang waktumu cuma buat dapet uang aja. Sekali-kali coba jatuh cinta Ki, siapa tau pandangan kamu tentang dunia bakal berubah"

"Iya bener Tan, tapi saya ngga percaya yang namanya cinta di masa SMA"

Setelah berpamitan dan menerima gajinya, Akara langsung menaiki motor miliknya, walau terlihat cukup tua, ia bersyukur karena ini hadiah dari neneknya saat ia berumur 17 tahun kemarin. Pepohonan yang rindang nampak disepanjang jalan, hawanya yang sejuk, sejenak mampu menghilangkan beban yang menumpuk dikepala. Di sepanjang jalan itu, Akara bernyanyi agak keras dengan suaranya yang out of the box itu. Terdengar nyaring, namun hanya ditelinganya saja. Faktanya bernyanyi dimotor dapat menghilangkan stres, walau pengendara lain yang jadi korban dari suaranya.

AbadiWhere stories live. Discover now