Chapter 19

19 0 0
                                    

Chapter 19

Sebuah Pengungkapan

Sebuah pernyataan akan terasa lebih dalam saat kita dapat berbicara kepada pihak yang bersangkutan secara langsung, menatap matanya memastikan atensi dalam tatapannya; mengatakan dengan penuh perasaan dan sedikit penekanan bahwa apa yang dibicarakan adalah sebenar-benarnya pengungkapan. Bukan untuk sebuah pencitraan belaka, tetapi karena kita tau. Seorang lelaki diciptakan untuk menjadi seorang yang tegas dalam menghadapi segala masalahnya, bukan untuk lari ataupun menghindari keadaannya.

Jum'at, hari dimana keberkahan biasanya menghampiri. Dengan penuh doa, biasanya manusia akan mendapatkan apa yang diinginkannya. Namun, doa tanpa usaha hanyalah angan belaka.

Akara dengan penuh semangat menatap cermin, berdialog dengan dirinya. Seolah membayangkan sedang berbicara dengan seseorang. Sorot matanya sedikit serius saat merangkai kata

“Kapan terakhir kali aku sepercaya diri ini?” tanyanya dalam hati “Dan, kamu pemenangnya. Kei. Akhirnya aku mencintaimu”.

Berbeda dari apa yang ia bayangkan selama ini, ternyata jatuh cinta tidaklah semenyakitkan itu. Karena selama ini cinta yang didapatnya hanyalah sebuah ambisi yang harus terealisasikan oleh ego dari kedua orang tuanya.

Aku selalu merasa bahwa takdirku adalah menjadi seorang penyendiri, terkekang oleh waktu dan dibatasi dari sosial. Mengubah pola pikirku secara perlahan. Bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tak butuh bersosialisasi.

“Ketika aku mengetahui rumah tak selamanya berbentuk bangunan. Kamu tiba dan mengizinkanku untuk singgah dalam hangatnya cintamu”

Kala itu, disebuah taman. Kedua manusia tengah duduk santai, berbagi cerita dan berusaha menjadi pendengar terbaik untuk sahabatnya. Alea dan Keisa yang sedang menikmati waktu kebersamaan mereka dengan bersenda gurau.

“An, kamu benar. Akara itu spesial” celetuk Keisa “Untuk seorang remaja, yang harusnya punya waktu untuk bersenang-senang. Dia malah lebih milih untuk mencukupi kebutuhannya sendiri”.

Ucapan Keisa langsung membuat Alea mengalihkan pandanganya, lalu Alea langsung menanggapi perkataan sahabatnya tersebut. Dengan tegas, dan berusaha untuk tidak mengganggu kisah cintanya. Hanya sedikit saran untuk membantu perkembangan asmara Keisa.

“Aku tau, dan aku yakin kalo kalian itu cocok. Ya, walau awalnya aku juga ragu. Tapi, lambat laun. Aku juga ngerasain ketulusannya. Walau ga terlalu keliatan. Dia punya caranya sendiri untuk mengekspresikannya” jawab Alea “Jangan buat dia sakit hati, banyak yang ngincer dia. Tapi, dia malah lebih milih kamu. Kei. Kamu tau kan artinya”

“Karena pada akhirnya, aku dan dia akan berbagi takdir yang sama. Dan, sampai dia bisa berdamai dengan dirinya. Maka, aku ga akan berhenti mencintainya”

“Good girl, dan semoga kalian berhasil mencapainya”

“Biarkan waktu yang menentukan, An. Tugasku hanya menemaninya saja” ucapnya diiringi paras ayunya.

Alea tersenyum mendengarnya, dan ia berharap hubungan sahabatnya itu akan semakin baik kedepannya.

Sore ini, Marsel yang sedang berjalan santai mengelilingi taman. Dengan senyumnya ia mulai menyapa orang-orang disana. Walau, beberapa tak dikenalnya tapi dia tetap menyapa karena itu sudah menjadi kebiasaannya.

Dia berhenti disebuah warung untuk memesan kopi, mengistirahatkan pikirannya sejenak dan berharap tenang dengan menghisap rokok miliknya.

“Nih kopinya, tumben sendiri Mas Rizky kemana?” tanya Bu Anggi selaku pemilik warung tersebut.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 13 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

AbadiWhere stories live. Discover now