Chapter 2

143 17 2
                                    

Chapter 2

Tatapannya yang kosong, seakan membawaku kedalam harmoni kesunyian.

Terkadang aku membenci hari senin, karena itu adalah tanda berakhirnya akhir pekan dan aku harus memakai topengku untuk bersosialisasi dengan para manusia munafik itu lagi. Pagi ini, Akara yang sudah siap untuk berangkat ke sekolah memulainya dengan kalimat kesukaannya "Ayo, semangat sat" (sat: singkatan dari ban**at). Kalimat itu menjadi magic saat diucapkan olehnya, seakan segala masalah menyingkir sejenak.

Sarapan dari Mamanya sudah tersedia di meja makan, Adiknya juga terlihat sudah siap untuk ke sekolah. Oh iya, kenalin nih Altendra Pamungkas si bungsu yang sifatnya kebalikan dari kakaknya. Anak kecil hyper aktif yang kalo dibilangin suka ngeyel. Btw, Altendra ini baru masuk SMP tahun ini, jadi perbedaan usia mereka sekitar 3 tahun.

"Dek, udah apa belum, mau bareng kakak apa berangkat sendiri?" tanya Akara dengan suara lembut.

"Bentar bro, ini lagi setrika baju, dikit lagi" sahut adiknya.

"Ya udah, kalo udah selesai jangan lupa sarapan"

"Siap bosss"

Akara memposisikan dirinya sebagai kakak yang bisa diandalkan, karena ia takut adiknya akan bernasib sama sepertinya. ia mengubah sifatnya 360° saat ada disisinya. Kurasa, itu yang membuat adiknya aman saat ada disisi kakaknya itu.

Mamanya tiba-tiba menghampirinya dan berkata "Yang kemarin ngga usah dipikirin, ayahmu emang gitu kalo lagi mabuk". Akara meresponnya dengan senyuman dan anggukan saja.

Adiknya yang sudah selesai sarapan dan Akara yang sudah selesai memanasi motor, berpamitan kepada mamanya yang ada di dapur. "Ma, berangkat dulu" Akara menyalimi mamanya, disusul dengan adiknya yang mengecup pipi mamanya yang super cantik itu. "Iya, hati-hati, jangan ngebut kalo dijalan"

Jarak sekolah Altendra memang cukup dekat dengan sekolahnya, oleh karena itu Adiknya selalu nebeng kakaknya dengan alasan ingin menjaga kakaknya dari godaan tante-tante yang tertarik dengan kakaknya itu. Padahal Altendra hanya malas menunggu angkot.

Akara yang sudah tiba di sekolah adiknya itu, menurunkan adiknya agak jauh dari pintu gerbang, "Sekolah yang bener, ga usah aneh-aneh apalagi pacaran" ucapnya dengan nada tegas, "Dih, kalo mau ceramah nanti aja deh kak, mending kakak aja dulu yang pacaran. Muka doang ganteng, cewe ga punya" sindir Altendra. Sebetulnya, adiknya tau dengan keadaan yang menimpa kakaknya itu. Tapi, dia memilih diam untuk menghormati usaha kakaknya melawan traumanya.

"Rasa kagumku padamu, mengalahkan rasa benciku terhadap keadaan yang kualami"

Musik menyertai perjalanannya menuju ke sekolah, lantunan nada seolah membawanya kedalam dimensi yang berbeda saat ini. Akara yang membawa motornya dengan pelan mencoba menikmati momen ini, karena jam masih menunjukkan pukul 06.10, masih terlalu pagi baginya untuk masuk ke sekolah.

Parkiran belum ramai, hanya ada beberapa motor saja yang terparkir. Mungkin ia datang terlalu awal hari ini, Akara duduk di bangku kosong dipojokan, menghisap sebatang rokok yang ada dijaketnya, mungkin sebagian orang mengira dia adalah anak nakal karena di umurnya yang masih remaja dia sudah merokok. Tapi, faktanya itu adalah caranya untuk kabur dari tekanan yang dia rasakan.

"Asap menyertai pagi ini, dengan segala keresahan yang ada dalam kepalaku"

Tak lama Marsel tiba di parkiran, dengan seragam yang belum rapi dan rambut yang masih acak-acakan seperti orang yang belum mandi seminggu. Ia mengamati sekitar dan melihat kawannya itu sudah duduk di pojok parkiran seorang diri. "Yah, pagi-pagi udah mendung aja tuh anak, apa gue kagetin aja ya hehe" batin Marsel dengan ekspresi jahil. Ia langsung menghampiri temannya yang sedang sibuk dengan handphone miliknya dan earphone yang terpasang ditelinganya. Lalu...

"Baaa" teriak Marsel didekat telinga Akara

"Waaa, anjing lu El bikin orang kaget aja" Akara yang tanpa sengaja melempar rokoknya dan menjatuhkan handphone-nya

"Duh, ternyata bisa kaget juga patung es ini hahaha"

"Eh Ki bagi satu dong, keliatannya enak banget tuh rokok, asem nih" lanjut Marsel dengan wajah memelas

"Dih, bentar, makanya kalo punya uang jangan buat belanjain cewek-cewek ga jelasmu itu" ucap Akara dengan nada tegas sembari memberi sebatang ke kawannya itu

"Iya, itu tandanya gue itu dermawan dan tidak sombong Ki" Sahut Marsel dengan tawanya

"Serah lu aja"

Btw, Marsel ini tipikal cowok friendly yang kebangetan. Setiap ketemu atau main sama cewek selalu aja jadi yabg bayarin, katanya sih hitung-hitung buat sedekah. Aneh emang ni anak.

Marsel pun langsung membakar rokoknya dengan wajah tak berdosanya dia masih saja menjahili Kiki. "Konsernya kemarin masih lanjut Ki?" tanya Marsel, "Engga, kata mama kemarin berhenti gara-gara penyanyinya tumbang", "Syukur deh" Marsel yang mendengar itupun sedikit lega. Sahabatnya ini bukan tipe orang yang cerita masalahnya ke sembarang orang, dia tipe yang memendam segalanya sampai membuat tangannya menjadi karya seni.

Parkiran mulai ramai, banyak siswa dan siswi yang sudah datang karena mayoritas sekolahnya adalah perempuan hanya ada beberapa laki-laki saja yang ada di parkiran. Namun, ada yang mengalihkan pandangannya kali ini, sosok yang tak asing dimatanya.

Perempuan yang menabraknya beberapa hari lalu, ternyata parkir disini juga. "Minimal minta maaf" batin Akara.

Waktu yang sudah berada di pukul 06.50, menandakan mereka berdua yang harus berangkat ke sekolah, untung saja mereka membawa parfum untung meminimalisir bau rokoknya. Setelah berpamitan ke bapak parkir, mereka langsung berangkat ke sekolah.

"Dalam setiap detikku, aku berkhayal tentang apa arti hidupku"

Karena hari ini Senin, maka sudah menjadi kebiasaan pelajar Indonesia untuk melakukan ritualnya di pagi hari. Ya, upacara di senin pagi selalu menjadi alasan untuk kita membolos karena rasanya sangat malas sekali untuk melakukannya.

Terlihat lapangan yang sudah dipenuhi siswi yang bergerombol dalam barisannya, sementara Akara yang masih harus naik tangga untuk ke kelasnya untuk mengambil topi yang ada di laci mejanya. Para guru sudah mulai berteriak untuk merapikan barisan dan untuk memanggil anak-anak yang belum datang.

Akara dan Marsel langsung menempatkan dirinya dibarisan khusus untuk laki-laki, ya karena laki-laki disekolah ini bisa dihitung dengan tangan, itu membuatnya mudah untuk diatur.

Upacara pagi ini dimulai, para murid yang mulai khidmat ada juga yang masih mengobrol dengan temannya. "Apa susahnya diam untuk menghormati pahlawan yabg sudah gugur" lirih Akara dengan nada sebal.

30 menit berlalu…

Sebelum mengakhiri upacara, kepala sekolah menegaskan kepada para muridnya untuk lebih menikmati masa remaja mereka, karena katanya masa kebebasan ini hanya datang satu kali. Sontak para siswa/i langsung mengatakan "SIAP" dengan lantang kala itu.

"Kantin bentar kuy" ucap Marsel, tanpa menjawab Akara langsung menganggukan kepalanya. Suasana kantin setelah upacara memang selalu ramai, mungkin mereka perlu energi untuk mendengarkan bualan tentang pengetahuan, nanti.

Akara yang menunggu sembari duduk di pojokan kantin, "Ini kalo misal tiba-tiba ada gempa bumi seru ga sih?" pikiran random itu muncul dikepala manusia introvert tersebut. Dilain sisi Marsel malah sibuk menggoda cewek-cewek disana, katanya sih biar dapet gratisan.

Sementara, itu ada seseorang yang melihatnya dengan senyuman manis di sudut kantin yang berbeda. "Tumben, dia sendiri?".

Setelah selesai membayar, Marsel langsung menghampiri Kiki. Dilihatnya ada perempuan yang melihat kawannya itu secara diam-diam, namun Marsel hanya membatin "Kalo cuma liat doang mah ga akan tertarik dia mbak".

"Cabut yuk bro"

"Heran banget, lu kok bisa laris ya?" Ekspresi Akara masih bingung dengan rupa kawannya itu

"Makanya, sekali-kali punya cewek"

"Dih, ogah banget jadi buaya kayak lu bangsat"

"Mata yang mulai menatap dengan pesona itu, perlahan akan membentuk alur yang baru"

Kritik dan saran dipersilahkan di kolom komentar, jangan lupa vote ya.




AbadiWhere stories live. Discover now