Chapter 4

92 9 4
                                    

Chapter 4

Perkara hati memang selalu menjadi misteri.

Kedua remaja itu tengah duduk menikmati kopi, ditemani sebatang rokok sambil menikmati pemandangan langit sore. Diatas rumahnya, Akara dan Marsel bersenda gurau, entah apa yang sebenarnya mereka bahas. Nampaknya itu sangat seru, hingga mereka tak memedulikan keselamatan.

Atap rumah Akara selalu menjadi tempat mereka untuk menikmati berakhirnya hari. Karena pemandangan langit disini menarik dan udara diatas sini cukup sejuk. Hal yang sederhana memang selalu memiliki cara untuk membuat bahagia.

Ditengah tawa itu, tiba-tiba Marsel menjelaskan sesuatu yang sebenarnya sudah sering mereka bahas.

"Eh ki, perasaan gue ini berlebihan ga sih ke dia?" ujar Marsel

"Pake nanya, lagian kalian juga udah putus lama kan?" ketus Akara

"Bagiku kami belum selesai Ki, kita cuma ambil jeda, yang ga tau kapan harus mulai lagi" jelas Marsel

"T-tapi, Giliran gue rasa tepat, eh malah beda keyakinan" ucapnya sesaat setelah menjelaskan (btw, Marsel ini nonis guys)

Akara terdiam sejenak mendengar penjelasannya, kawannya itu selalu terjebak dalam sebuah labirin yang belum menemukan titik temu. Membuatnya menjadi terjebak dalam maraton tanpa garis finish.

Akara mulai serius menanggapi pertanyaan Marsel, Nadanya sedikit ditegaskan diiringi dengan tatapan seriusnya.

"Gini El, gue tau lu itu pengen banget punya cewek buat tempat lu pulang kan?" ujar Akara

"Tapi ada hal yang perlu banget lu inget, Mau bagaimanapun kamu mengejar manusia, yang namanya perasaan ga akan bisa bohong"

"T-tapi Ki, dia itu spesial" jawab Marsel

"Hal paling mudah untuk otak kecil lu itu buat ngerti tuh gini, ibaratnya lu itu air dan cewekmu itu minyak"

"Mau lu itu jungkir balik sambil kayang, kalian itu hal mustahil yang ga akan bisa bersatu" jelas Akara dengan nada ketus.

Marsel diam sejenak meresapi perkataan Akara, Wajahnya mulai masam mengingat apa yang dikatakan kawannya itu benar, "Gue tau lu itu butuh rumah semenjak ayahmu ga ada El" batin Akara.

Senja dan langitnya selalu memiliki chemistry tersendiri bagi kami, lagu "Wish You Were Here" milik Neck Deep menemani hisapan rokok kami. Iramanya mengundang kenangan lama untuk diulang kembali. Kurasa jika kenangan bisa terulang lagi, aku tak ingin mengenal apa itu cinta.

"Yang namanya patah hati itu, tak bisa disesuaikan dengan keadaan mentalmu."

Hari mulai petang, langit senja yang mulai redup mengakhiri percakapan mereka. Semua hal berlalu begitu cepat, sampai aku bingung. Sebenarnya apa yang telah kulakukan sampai saat ini. Dari percakapan mereka tadi, perlahan dalam memori Akara mulai mengingat wajah seseorang. Seseorang yang membuatnya mati rasa.

"Turun yuk nyet, wajah manisku mulai diserang nyamuk nih" ajak Marsel.

"Ayo, btw lu itu ga ada manis-manisnya sama sekali bangsat"

Saat mereka mulai membereskan sampah, terdengar suara panggilan di-HP Akara. Saat ia mengeceknya, ia langsung menutup panggilan itu dengan perasaan kesal.

"Dia masih sering ngehubungi lu, Ki?" tanya Marsel

"Iya, mending ga usah dibahas" jawab Akara kesal

Datangnya hanya memberi bahagia diawal saja, perlahan perasaan itu akan goyah seiring berjalannya waktu. Ketika pertengkaran mulai sering terjadi, perlahan "chemistry" diantara mereka akan memudar.

Malamnya, Akara pergi ke sebuah Cafe di di dekat alun-alun. Disana dia ada janji dengan seseorang. Dengan kaos hitam dan jaket denimnya, ditambah anting yang terletak ditelinga kirinya. Ia sudah memesan kopi tanpa gula kesukaannya, Akara memilih tempat di lantai dua karena disana cukup sepi. Dengan vibes classic diiringi irama music jazz, membuat Akara nyaman.

Karena bosan menunggu, Akara mulai mengetik sebuah puisi di handphonenya. Selain menggambar Akara juga suka sekali menulis, entah kejadian apapun itu, ia akan merubahnya dalam sajak yang indah untuk dibaca.

 Selain menggambar Akara juga suka sekali menulis, entah kejadian apapun itu, ia akan merubahnya dalam sajak yang indah untuk dibaca

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Indah bukan? Apapun masalahmu nanti. Jangan jadikan mati sebagai opsi. Seni membuatmu hidup dengan berbagai cara, ekspresimu akan tercampur indah dalam tulisan maupun lukisan.

Akara sebenarnya tak suka disuruh menunggu apalagi ini sudah lewat dari jam pertemuan seharusnya, bayangkan saja sudah hampir 1 jam menunggu dan kopi yang ia pesan hampir habis, orang yang ditunggu belum juga datang. Tapi, karena ini menyangkut masa depannya ia sabar untuk menunggu.

"Sebuah aksara yang menjelaskan tentang keindahanmu masih belum berhenti kutulis"

Bunyi panggilan terdengar dari ponsel Akara, nama yang tak asing dikontaknya itu muncul, perasaannya mulai kesal melihat panggilan itu. Nama yang selalu mengingatkannya pada kesenangan fana. "Ga ada yang boleh masuk, sebelum gue bener-bener siap nerima orang baru" lirih Akara. Tanpa mencoba mendengar ucapannya, Akara langsung menutup panggilan itu.

Yah, setelah menunggu sangat lama. Akhirnya orang yang ditunggu datang juga. Perkenalkan manusia yang hobinya mabuk-mabukan setiap malam dan seorang mahasiswa DKV. Bisa dibilang orang ini adalah figur kakak bagi Akara. Dirinya yang jarang sekali bicara dengan kakak kandungnya, membuat jarak antara mereka sangat renggang.

Namun, semenjak bertemu Melvin pandangannya tentang orang dewasa mulai berubah. Btw jarak umur mereka cukup jauh, terpaut sekitar 6 tahun.

''Sorry banget nih dateng telat, tadi ada kecelakaan makanya jalan jadi macet" ujar Melvin.

"Kurang lama aja sih, nih buktinya kopi gue masih banyak" satir Akara.

Topik yang akan mereka bahas kali ini tak jauh dari hobi Akara, Melvin yang melihat potensi Akara di bidang seni, kala itu tak sengaja mendaftarkannya disebuah lomba melukis, tentu saja tanpa menunggu persetujuan dari Akara.

"Nih, lukisannya dah gue bawa"
"Buset, keren juga nih tinta"
"Itu udah sesuai sama tema kan, gue masih bingung sama nggabungin warna"
"Yah, 7/10 lah ini, lu kan kalo ngegambar selalu hitam putih wajar aja sih haha" ledek Melvin
"Perasaanmu masih belum sampai kesini ya Ra?"

Tanpa menjawab Akara hanya menghisap rokoknya. Lomba yang diikutinya bertema persahabatan, mungkin itu tema yang sulit baginya. Bentuk lukisannya pun masih acak dan tak ada makna sama sekali disana.

"Okelah, gue bawa ya ini"

"iya"

"Yakin aja besok menang nih"

"Ikut alur aja, btw makasih ya" kata Akara dengan wajah penuh harap

Tak ada yang lebih membahagiakan daripada melihat kerja kerasmu diapresiasi oleh keluargamu, namun sampai detik ini hanya Melvin yang mengatakan bangga dengan lantang. Dengan semua hal yang dilakukannya.

Tak apa gagal, semua itu butuh waktu. Proses yang sakit akan membawamu menuju kesenangan yang bukan fana. Diantara banyaknya doa yang ingin tercapai. Semoga seni ini dapat abadi dalam setiap hati sang pembaca.

Malam yang mulai dingin, dan jalan yang mulai sepi. Membawa suasana tenang yang selalu dinanti. Basa-basi diantara mereka belum usai, masih berlanjut dan semoga akan selalu seperti ini.

"Dalam perjalananku, namamu masih melekat dalam setiap langkah yang aku tuju"

AbadiWhere stories live. Discover now