Evanescent

15 5 0
                                    

Menjadi penyihir adalah pekerjaan yang tabu bagi laki-laki. Menjadi penyihir itu artinya kamu menentang aturan dunia. Syarat untuk menjadi salah satu dari mereka ialah ketika emosi sudah mengacaukan hidupmu.

Manusia yang sering seperti itu ialah perempuan.

Makanya kebanyakan penyihir berjenis kelamin perempuan.

Jika ada laki-laki yang bisa menjadi penyihir, maka masyarakat akan menudingnya. Seperti: “Kenapa laki-laki sepertimu kalah dengan emosi?”

Maka dari itu, di dunia yang sempit ini, kami—para laki-laki—tidak diperbolehkan menunjukkan emosi yang biasanya boleh dilakukan oleh perempuan. Menangis salah satu contohnya.

Menangis membuat kami lemah.

Tapi ... kenapa?

Kenapa kami tidak boleh menangis meski kita sama-sama manusia?

“Carlos!”

Aku sedikit berjengit. Senyumku melebar saat melihat kakak perempuanku, Beryl, berdiri di hadapanku. Ia membalas senyumanku. “Kenapa kamu melamun?”

“Tidak, aku hanya memikirkan sesuatu yang tidak penting.”

Aku berdiri dan berjalan menuju ujung dunia. Iya, kalian tidak salah baca. Dunia ini memiliki ujung—meski aku lebih suka menyebutnya dengan dinding dunia—karena bentuknya kotak.

“Kira-kira apa yang ada di luar sana?” Beryl berdiri di sampingku. Ia menyentuh dinding dunia. “Ada apa di luar sana selain awan-awan tidak jelas ini?”

“Entahlah, aku pun bertanya-tanya.” Aku menarik Beryl mundur. “Jangan dekat-dekat, sistem keamanannya sebentar lagi akan dinyalakan.”

Beryl menatapku. Ia tersenyum.

Namun, senyumnya kemudian hilang.

Ia melotot saat menatapku.

“Kenapa kakak melihatku seperti ... itu?”

Beryl menarikku. Telingaku berdenging. Mataku tertutup oleh cahaya yang sangat terang. Sebelum aku bisa memproses apa yang sebenarnya terjadi, Beryl hilang dari hadapanku.

Lenyap begitu saja.

Tidak ada bekasnya.

Bahkan sepotong kain bajunya tidak ada.

Aku menatap dinding dunia. Tidak ada lubang.

Aku menatap arah lainnya, tidak ada apapun yang terjadi.

Lantas aku kembali menatap tempat Beryl berdiri tadi.

Apa aku ... bermimpi?

“Carlos, kenapa kau diam saja? Tugas kita sudah selesai.”

Aku menoleh, menatap kakak laki-lakiku. Tunggu, kenapa dia ada di sini walaupun ia sedang tidak bertugas. “Ignis, kenapa kau ada di sini?”

Ignis mengernyit. “Kenapa kau tidak sopan padaku? Ah, tapi, lupakan. Tentu saja karena hari ini tugasku berjaga denganmu. Kau lupa ingatan atau bagaimana?”

“Tapi aku ....” Aku mengusap wajah pelan. “Hari ini aku bertugas dengan Beryl.”

“Siapa Beryl? Anak baru?”

Aku melotot pada Ignis. “Dia saudara kita, Ignis! Kakakku, adikmu!”

“Jangan ngarang kau! Kita ini hanya dua bersaudara. Adikku, ya, Cuma kau saja!”

Aku terjatuh. Apa ini? Apa yang terjadi? Aku yang sudah gila atau Ignis yang gila?

“Oh, atau mungkin ... mereka sudah mulai?”

“Mulai apa?”

“Memusnahkan orang-orang yang lemah.” Ignis berjongkok. “Bukankah minggu lalu mereka bilang akan menghilangkan orang-orang tidak berguna? Mungkin si Beryl itu adalah salah satunya.”

“Apa-apaan?!” Aku menarik kerah baju Ignis. “Bagaimana bisa?!”

“Sihir tentu saja.”

Aku mengacak rambut frustasi. Tentu saja aku sudah tahu kabarnya. Meski begitu, aku tidak pernah menyangka mereka akan menyingkirkan Beryl—yang pada kenyataannya sangat sering membantu urusan kotor mereka.

Aku menatap Ignis, hendak berkata sesuatu. Namun, pandanganku teralihkan pada cahaya putih di belakangnya.

Aku mengangkat tangan, keluar sesuatu dari tanganku. Seperti penyihir.

Satu detik kemudian, aku berada di luar dunia.

Jatuh.

Melayang-layang tanpa arah.

Seakan terbang.

Aku takut, tapi merasa bebas.

________

Cermin by Nec285_

Phantasia CuniculumWhere stories live. Discover now