Havoc

11 3 0
                                    

Pandora—begitulah para Sage Utama menyebutnya. Ah, tidak juga, sih. Bukan hanya para Sage Utama, tetapi seluruh Aragats memang menyebutnya demikian. Benda itu adalah kotak berbahaya yang disegel di Museum Abadi, sebuah kotak yang kabarnya pernah menggemparkan wilayah Aragats—yang melepaskan kutukan mengerikan dan sihir hitam yang bau.

Pandora merupakan manifestasi dari sumpah serapah terakhir seorang warlock hebat sebelum menjemput kematiannya seratus lima puluh tahun yang lalu. Yah, kutukan warlock yang sekarat memang luar biasa kuat, sih.

Aarav sudah berulang kali memperingatiku untuk tak menyentuhnya. Akan tetapi, bagaimana bisa aku tidak penasaran? Meski telah dipasangi segel ganda level sepuluh, bukankah membiarkan Pandora dipajang di sini tetap saja berbahaya? Mengapa para tetua tidak menyembunyikannya di ruang bawah tanah klan, ruangan harta karun, atau tempat rahasia lainnya? Maksudku, siapa saja bisa menyusup untuk mencuri dan membukanya jika kotak itu menetap di Museum Abadi, kan? Entah itu warlock gila lainnya atau penyihir muda nakal yang penuh rasa penasaran  sepertiku.

Oh, tidak ada lagi hal mengerikan di Aragats yang dapat menakutiku. Sejak pertama kali diberi tahu perihal eksistensi Pandora, aku tak pernah percaya kisahnya. Bagiku, itu hanyalah kotak biasa yang dibiarkan melayang dan tersegel demi menarik pengunjung. Siapa tahu, para petinggi dan pengelola Museum Abadi sengaja membuat rumor tentangnya. Jujur saja, museum pasti akan sepi pengunjung tanpa adanya kotak itu. Museum Abadi tidak akan mendapatkan uang sebanyak sekarang tentunya. Tarif masuk tempat ini kan mahal.

"Riette, kumohon, dengarkan aku kali ini saja." Aarav menahan tudung jubahku, mencegah kakiku melangkah lebih jauh demi memangkas jarak dengan tempat 'dipajangnya' Pandora.

“Berhentilah bicara, Aarav. Aku memang tidak punya alasan untuk menjadi jahat, tetapi aku pun tak punya alasan untuk menjadi anak baik.

“Ayolah. Mari berkompromi demi nilaiku yang terancam, Rie."

Aku memasang seringaian lebar, menoleh padanya dan memasang raut menggoda yang menyebalkan.

"Kau takut ya, Aar?" cemoohku. Bocah itu segera memasang tampang sebal, mengubah mimik khawatirnya.

"Iya, aku takut. Kau puas?" gerutunya.

Aku membuang muka, mengabaikan keluhannya, kembali menatap ke arah Pandora. Astaga, memangnya sahabatku ini tidak penasaran sama sekali? Aku sih penasaran setengah mati.

"Aarav, kau sorcerer jenius abad ini, kan? Apa kau tahu cara membuka segelnya? Seharusnya kau bisa membuat celah meski sedikit, kan?”

"Rie!"

Aku terkikik geli. "Ayolah, Aar. Menjadi bebaslah sedikit. Memangnya kau tidak penasaran?"

"A-ah, tentu saja! Tapi kan ... ."

Sekali lagi, aku memandang Aarav. "Aar!" panggilku. "Ayo, hancurkan Aragats bersamaku."

________

Cermin by maev_exzth

Phantasia CuniculumМесто, где живут истории. Откройте их для себя