01 | Rendezvous

368 46 118
                                    

Setiap insan manusia adalah karakter utama dari jalan cerita hidupnya masing-masing. Layaknya sebuah film atau buku. Bedanya, tidak ada yang bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya dalam alur cerita kehidupan. Semuanya mengalir begitu saja berupa teka-teki tanpa petunjuk bagaimana akhirnya. Tidak ada tombol rewind untuk memutar ulang suatu adegan atau balik ke halaman sebelumnya.

Selang nyaris satu dekade, jalan cerita hidup Zevania Sylvianna memasuki babak baru. Sekuel kisahku dengan London, kota favoritku sepanjang masa. Tiada hari yang terlewat tanpa doa kepada semesta agar dapat menapakkan kaki ke tanah impianku ini lagi.

London.

Nama kota itu terus menerus menghantui isi pikiranku selama perjalanan yang menempuh waktu nyaris 24 jam. Berbeda dengan diriku sepuluh tahun lalu, kali ini aku tidak sendirian. Aku pergi bersama Zevonio Nugraha, kembaranku, dan juga beberapa kru film yang harus berangkat lebih awal dari yang lainnya.

Setelah mempertimbangkan banyak hal, akhirnya aku mengambil cuti selama sepuluh hari untuk menemani Zevo yang bekerja sebagai location manager pada sebuah rumah produksi film. Latar lokasinya kebetulan sekali adalah London, kota yang selama ini selalu menjadi tujuan hidupku.

"Kesempatan ada di depan mata. Kapan lagi bisa kembali ke London?" Zevo tidak henti-hentinya membujukku agar ikut dengannya. Selain alasan itu, dia juga membutuhkan bantuanku yang pernah ke London untuk membantunya memberikan pendapat mengenai lokasi syuting untuk film yang akan digarapnya.

Sebenarnya Zevo sudah berulang kali memintaku untuk menemaninya setiap dia ada proyek yang mengambil latar tempat di luar negeri seperti Jepang, Belanda, Amerika Serikat, dan Australia. Hanya saja biaya perjalanannya ditanggung oleh kantong pribadiku sendiri. Rasanya kurang ikhlas harus mengorbankan tabungan yang sudah kusiapkan sejak sepuluh tahun lalu yang dibuat khusus untuk pujaan hatiku: London.

Begitu mendengar kabar dari Zevo bahwa latar film yang digarapnya adalah London, sejujurnya aku tidak perlu pikir panjang untuk menerima ajakannya. Sudah waktunya aku menggunakan tabunganku. Namun, mendadak aku jadi teringat dengan salah satu penduduk London.

London itu kota besar, Zeva. Aku mencoba untuk mengingatkan diriku sendiri. Kemungkinannya nyaris nol untuk bertemu dengannya bahkan ketika aku sengaja datang ke rumahnya. Bisa saja dia sudah pindah ke daerah lain atau ke negara lain atau jika memang dia masih tinggal di sana, belum tentu dia ada di rumahnya ketika aku datang. Ini bukan film.

Lagi pula untuk apa aku ke rumahnya? Belum tentu dia masih ingat denganku. Menghubungiku saja tidak pernah sama sekali.

Pesawat yang membawaku terbang dari Jakarta mendarat di London pukul delapan pagi waktu setempat setelah mengalami delay selama delapan jam di Istanbul. Berbeda dengan Zevo yang dapat tidur nyenyak selama perjalanan, aku terjaga sepanjang malam. Setiap aku mencoba untuk memejamkan mata, bayang-bayang London Eye, Big Ben, gedung pencakar langit di kawasan City of London, dan Tower Bridge selalu muncul dalam benakku layaknya potongan adegan pada film. Aku benar-benar merindukan kota itu. Rasanya lebih menggelisahkan daripada pertama kalinya aku ke London.

Bukan hanya tempat-tempat landmark London saja, melainkan bayangan dia—sosok yang menjadi alasanku ingin sekaligus enggan kembali ke London. Aku tidak tahu sebesar ini dampak seseorang yang hanya hadir kurang dari setahun dalam hidupku.

"Coba tidur sebentar." Zevo memandangku yang tengah menyantap sarapan di hotel tempat kami menginap. "Sejam atau dua jam cukup."

Ketika melihat pantulan diriku pada cermin, kuakui penampilanku memang menyedihkan. Meski sudah berusaha menutupi mata panda dengan concealer, itu tidak cukup untuk menutupi matanya yang kelelahan. Begitu sampai di hotel, aku hanya mandi dan mengganti baju, lalu mendatangi kamar Zevo yang tampak ogah-ogahan untuk segera berkeliling London.

Journal: The LessonsWhere stories live. Discover now