02 | Kensington

217 50 51
                                    

Aku memandangi setiap foto kota kelahiranku yang terpajang di dinding galeri tempatku bekerja. Setiap kali teringat dengan masa lalu yang menyeretku ke kehidupannya sekarang, foto-foto ini menjadi hal yang meyakinkanku bahwa tidak ada hal yang perlu disesali. Selalu ada hal indah dalam setiap pilihan yang kita ambil.

Impian mengenakan seragam sepak bola bertulisan "Stanley" serta bernomor punggung satu sudah lama terkubur. Tentu ada masa-masa kala aku berpikir apakah hidupku akan berbeda seandainya aku tetap mengejar impianku menjadi seorang kiper sepak bola ketika aku masih memiliki kesempatan. Namun, aku tersadar; apa gunanya berandai-andai tentang masa lalu? Aku tidak mau terus terjebak dalam waktu yang tidak bisa kembali. Kini, fokusku hanya pada masa depan. Bekerja sebagai seorang fotografer terus membawa kejutan dalam hidupku, yang barangkali tidak akan terjadi apabila aku tetap bersikeras menjadi seorang penjaga gawang klub sepak bola favoritku, Arsenal, atau timnas kebangsaanku, Inggris.

Seperti kejutan yang baru kudapatkan hari ini. Kemunculan seorang wanita yang sempat mengisi ruang di hatiku selama setahun, namun enggan untuk pergi meski raganya sudah menjauh dari sisiku selama sepuluh tahun. Aku telah mencoba untuk melupakannya, tetapi menghapus kenangan dalam memori kepala tidak semudah menghapus foto dari kamera.

"Zevania Sylvianna," katanya memperkenalkan diri dan kami berjabat tangan, yang mampu membuat otakku tidak bekerja, jantungku berhenti berdetak, dan mataku enggan mengedip untuk beberapa saat. Tangannya yang lebih kecil dariku terasa hangat dalam genggamanku. Tangan yang harusnya tidak pernah kulepaskan.

Aku selalu berpikir bahwa jalan kehidupan ini terkadang lucu. Entah benang merah apa yang menarik Zevania kembali ke sisiku setelah nyaris satu dekade. Tanpa ada pertanda sama sekali serta tanpa usaha apa pun yang dikerahkan olehku, tiba-tiba gadis itu muncul di galeri milik pamanku, tempat aku bekerja. Dari sekian banyak galeri di London, benang itu menarik Zevania ke tempatku berada.

"Kau sudah sarapan?" tanyaku sebagai bahan pembuka obrolan dengan Zevania setelah kami berdua mencapai lantai dasar galeri. Aku ingin berterimakasih kepada Daniel yang menyuruhku untuk mengajak Zevania berkeliling sementara dia membicarakan bisnis bersama Zevonio, kembaran Zevania. Nama yang lucu menurutku.

Kami berjalan beriringan menyisir daerah Soho yang mulai ramai oleh turis, berkunjung dari satu toko ke toko lainnya. Beberapa orang berjalan berlalu lalang dari segala arah. Meski sekarang hari Senin, tapi Soho tidak pernah sepi terutama pada musim panas. Kawasan ini dipenuhi oleh turis yang ingin merasakan kehidupan a la Londoner.

"Sudah di hotel. Kau sudah sarapan?" Zevania bertanya balik.

Aku memberi senyuman tipis sambil menganggukkan kepala sebagai jawaban. "Jam berapa kau tiba di London?" Kutebak pasti tadi malam atau bisa saja sejak kemarin dan kemarinnya lagi dan tolong jangan bilang dia akan pulang besok.

"Tadi pagi."

Oh, dia gila. Tergila-gila pada London.

"Kau belum tidur?" Langkahku terhenti. Aku lumayan sering pergi ke mancanegara dan tahu betul lelahnya jetlag. Tidur di pesawat juga tidak senyaman tidur di hotel. Kalau aku jadi Zevania yang melintasi angkasa dalam 24 jam terakhir, aku pasti akan menghabiskan waktu seharian di kamar hotel.

Zevania tidak ikut berhenti melangkah, yang memaksaku mengejarnya agar tidak tertinggal lebih jauh untuk mendengar jawabannya. "Aku sudah tidur di jalan. Lagi pula aku cuma punya sepuluh hari dan tidak ingin ketinggalan satu hari pun di sini."

"Sepulu hari?" Aku memberanikan diri berdiri tepat di hadapan Zevania, memaksa gadis itu untuk berhenti jalan. "Di proposal waktu syuting filmnya satu bulan." Aku sempat membaca sekilas proposal yang diberikan Zevonio meski kepalaku terus memikirkan Zevania.

Journal: The LessonsWhere stories live. Discover now