20 | Eye To Eye Gallery

121 29 33
                                    

"Kau bertengkar dengan Nia?" Zevo menerima cup berisi kopi yang kubeli dari kedai dalam galeri. Kami berada di ruang kerjaku, sementara para kru dan aktor film yang sedang digarap Zevo sibuk bersiap-siap untuk memulai proses syuting di Galeri London Eye To Eye.

Aku mengajak Zevo bicara empat mata di ruanganku, menceritakan tentang perang dingin antara Zevania dan aku. Baru kuketahui Zevania menjawab pesan dari Zevo sekitar setengah jam yang lalu, pertanda bahwa dia baru bangun tidur. Zevo terlalu sibuk dua hari ini jadi dia tidak bertemu dengan Zevania dan baru tahu tentang pertengkaran ini dariku.

"Aku mendengar cerita dari Zevania, dia tampak benar-benar bahagia kau bawa jalan-jalan ke tempat yang tidak pernah dikunjunginya. Kupikir kalian akan jalan berdua lagi hari ini," tambahnya. Kupikir juga begitu, aku berencana mengajaknya ke London Timur. Zevo menyesap kopinya dan berkata, "Sulit dipercaya."

Memang sulit dipercaya. Semua yang berkaitan dengan Zevania itu sulit dipercaya. Mulai dari kedatangannya, kehadirannya, hingga pertengkaran dengannya.

"Kupikir kau adalah orang terakhir yang akan bertengkar dengan Nia." Zevo terbiasa memanggil Zevania dengan Nia, sedikit membuatku harus berpikir siapa yang dimaksudnya. Dia melanjutkan, "Dia jarang mengekspresikan emosinya, kan? Apalagi marah sampai meledak seperti itu. Dia pasti mengatakan hal-hal yang menusuk hatimu."

Benar, Zevo benar. "Dia bilang seharusnya kami tidak pernah bertemu." Perkataannya itu menciptakan lubang besar dalam hatiku yang sedang perlahan kucoba tutup. Membuatku gelisah dan terjaga sepanjang malam memikirkan apa yang telah salah di antara hubungan kami. Mengapa begitu sulit bagi kami untuk bersatu?

"Dia tidak sungguh-sungguh mengatakannya, dia hanya kesal." Zevo memiringkan kepalanya sambil menggeleng. "Itu alasannya dia cenderung menghindar ketika amarahnya meluap karena sekalinya dia bicara, pasti bikin sakit hati lawan bicaranya. Aku juga sering kena semprot darinya, setelah itu dia minta maaf. Percaya padaku pasti dia sekarang sedang merasa bersalah karena berkata seperti itu. Biarkan dia sendiri dulu."

Bahuku terangkat pelan. "Entahlah. Dia terlihat sangat marah, matanya benar-benar menunjukkan kekecewaan."

"Oh, matanya tidak bisa bohong."

Aku mengangguk setuju, ingin mengakhiri pertengkaran ini dan tidak ingin melihat mata Zevania yang tidak bersahabat. Aku ingin melihatnya berbinar karena London lagi seperti yang selalu ditunjukkan olehnya. "Apa yang harus kulakukan untuk memperbaiki semua ini?"

"Tidak ada." Jawaban Zevo membuatku putus asa seketika dan dia menyadarinya, dia melanjutkan, "Hanya dia yang bisa mengontrol emosi dan perasaannya. Kalau dia masih belum tenang, percuma kau meminta maaf sampai sujud pun dia tidak akan memaafkan. Biarkan dia sendiri dulu."

"Bagaimana kalau dia tidak memaafkanku sampai dia pulang ke Indonesia?" Ketakutan terbesarku. Masih banyak hal yang ingin kukatakan padanya dan juga tempat yang ingin kutunjukan.

Zevo mengecek ponselnya. "Dia mengirimiku pesan, bertanya tentang lokasi syuting. Kujawab di galeri Andrew."

"Dia pasti tidak akan kemari." Fakta baru yang sungguh menyakitkan, padahal aku ingin sekali menunjukkan ruang kerjaku padanya, mengetesnya apakah dia mengingat foto sepasang burung yang kuambil saat kami melakukan sesi wawancara, yang merupakan alasanku menjadi seorang fotografer. Selain itu, ada banyak dari sisi galeri yang ingin kutunjukkan padanya.

"Lihat nanti." Zevo fokus pada ponselnya, jemarinya mengetikkan sesuatu. "Oh, katanya dia akan ke Soho, tapi belum tahu apakah kemari atau tidak. Dia memberitahu padaku secara tidak langsung bahwa kalian bertengkar."

Aku tersenyum miris mendengarnya. Jadi dia akan ke Soho. Kutebak dia pasti akan ke Covent Garden. Dan, ternyata Zevania baik-baik saja. Entah asumsi itu membuat hatiku tenang atau bertambah gelisah. Di satu sisi aku senang dia tidak mengurung diri di kamar hotelnya. Namun, di sisi lain itu pertanda bahwa Andrew dan London adalah dua hal terpisah. Marah dengan Andrew, bukan berarti marah dengan London. Hidupnya akan baik-baik saja tanpa kehadiranku. Dari awal dia memang sudah berencana jalan-jalan sendiri—aku tidak begitu penting baginya.

Journal: The LessonsWhere stories live. Discover now