05 | Tate Modern

124 38 39
                                    

Setelah mengobrol di Millennium Bridge, aku dan Andrew menghampiri lokasi syuting di halaman depan Tate Modern, sebuah galeri seni rupa modern dan kontemporer yang terletak di bagian selatan Sungai Thames. Andrew bilang, Tate Modern adalah galeri yang paling banyak dikunjungi dalam setahun—sekitar 1,5 juta pengunjung. Sebelum tahu bahwa bangunan ini adalah sebuah galeri, awalnya kupikir Tate Modern adalah pabrik karena bentuk arsitekturnya yang memang terlihat seperti pabrik dengan cerobong asap. Aku memberitahu Andrew ketidaktahuan itu dan dia dengan sabar menjelaskan secara singkat bahwa Tate Modern dulunya memang bekas pembangkit listrik. Namun, pada tahun 2000 dialihfungsikan menjadi galeri seni.

Matahari bersinar terik tetapi udara masih cenderung sejuk bagiku

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Matahari bersinar terik tetapi udara masih cenderung sejuk bagiku. Bagaimana tidak? Suhu terpanas di bulan Juni hanya 21 celcius! Sama dengan suhu ruangan ber-AC. Cuaca cerah ini mendukung proses syuting—mungkin itu alasan mereka juga mengambil waktu musim panas agar sesuai dengan latar waktu pada filmnya karena London pada musim lainnya cenderung berawan dan mendung.

Para kru film sudah menyiapkan segala macam keperluan syuting hari pertama penggarapan film. Kesempatan perdana bagiku ikut ke lokasi syuting; menyaksikan secara langsung kembaranku, Zevo, dalam mode kerja. Memiliki peran sebagai location manager, Zevo benar-benar memiliki tanggung jawab yang besar demi kesuksesan proses syuting. Terutama jika latarnya mengambil di luar negeri yang proses perizinannya jauh lebih sulit.

Zevo tampak sibuk mondar-mandir dari satu kelompok orang, ke kelompok lainnya. Mataku beralih pada para kameramen yang sibuk menyiapkan proses pengambilan adegan pertama. Karena tidak ingin mengganggu, aku dan Andrew berdiri di pinggiran lebih dekat dengan pepohonan. Beberapa orang yang berlalu-lalang melempar pandangan sekilas pada lokasi syuting, tetapi ada juga yang tidak peduli sama sekali. Kalau di Indonesia, mungkin sudah ada kerumunan yang memenuhi area ini.

"What's the film about?" tanya Andrew sambil sedikit membungkukkan tubuhnya, setengah berbisik karena para kru film sedang mengetes mikrofon.

Aku menahan senyum melihatnya. Lucu karena jarak kami lumayan jauh dan tidak mungkin tertangkap mikrofon. "That girl over there, her name is Adele—yes, like the singer." Aku menunjuk Riani Anastasia, aktris muda Indonesia yang sedang naik daun, tengah mengobrol dengan lawan mainnya, Hadrian Julio. "Coming to London to visit her british boyfriend but she caught him cheating on her and went to Paris with some girl. Then, she met that guy—who is talking to her right now, named Joe—and they explore London together." Aku merasa penjelasanku sedikit berantakan karena Andrew tampak kebingungan.

Andrew berpaling dari dua aktor dan aktris ke arahku. "That's it?"

Aku menggelengkan kepala, mengingat alur buku yang diadaptasi jadi film ini—aku membeli bukunya karena berlatar di London. "After spending some days together in London, they slowly fall in love but the problem is the guy was also cheated by his ex girlfriend and never dated anyone ever since. So, starting a new relationship is kinda traumatize him."

Journal: The LessonsWhere stories live. Discover now