17 | Primrose Hill

88 30 43
                                    

"Kita di Primrose Hill?"

"Bagaimana kau tahu kita di Primrose Hill?"

"Paddington," jawabku sambil terkekeh pelan melihat Andrew menggelengkan kepalanya. Pasti dia sudah dapat menebaknya. Aku memberitahunya bahwa aku senang menonton film atau serial tv yang mengambil latar di London, semata-mata hanya untuk melihat latarnya.

Paddington adalah film tentang petualangan seekor beruang bernama Paddington di London. Film itu sangat terkenal hingga dibuat patung beruang bernama Paddington di beberapa titik di kota London. Salah satunya adalah Stasiun Paddington (asal mula beruangnya dinamakan Paddington). Dalam film, diceritakan bahwa Keluarga Brown tinggal di Notting Hill, sedangkan aslinya rumah mereka berlokasi di Primrose Hill. Selain itu, ada juga serial Netflix seperti The Bodyguard dan Behind Her Eyes, yang secara spesifik mengambil latar di Islington. Ini gila dan tentunya aku tidak membocorkannya pada Andrew. Pada saat menonton kedua serial itu, aku berharap ada sepotong cuplikan Andrew yang tidak sengaja diambil pada serial itu.

Segila itu aku pada London.

Terkecuali untuk Harry Potter. Jujur aku merasa bersalah begitu melihat Andrew tampak kecewa berat mendengar fakta bahwa aku bukan penggemar salah satu film paling terkenal di dunia itu. Berdasarkan pengalaman pribadi dari orang-orang di sekitarku, alasan mereka ingin ke London adalah untuk mengunjungi Harry Potter Studio atau ke tempat-tempat syuting filmnya. Berbeda denganku yang tidak memiliki alasan khusus untuk pergi ke kota ini.

Oke, mungkin ada. Alasannya adalah lelaki yang berdiri di sebelahku, yang telah berbaik hati meluangkan waktunya untuk menemani sepuluh hariku di london yang singkat ini, yang rela memutar otak untuk menyiapkan rencana perjalanan yang tidak spesifik.

"Siapa yang tinggal di Primrose Hill?" tanyaku ketika Andrew berhenti di salah satu rumah bertingkat dua yang dicat berwarna biru muda.

"Lihat saja nanti."

Cih, sok dirahasiakan, aku mengomel dalam hati. Padahal aku suka diberi kejutan oleh Andrew. Sebenarnya aku tidak suka dikejutkan karena aku mudah kaget meski tidak sampai ke level ekstrem seperti jantungan. Namun, sekali lagi, ada pengecualian bagi Andrew. Aku suka kejutan darinya bahkan ketika dia tidak berniat untuk mengejutkanku sama sekali.

Andrew menekan bel rumah bergaya Victoria yang khas London ini.

Pintu terbuka, seorang wanita berambut pirang terlihat dari balik pintu seraya menggendong anak kecil dengan rambut gelap ikal. Sesaat aku hanya bisa membeku di tempat, bertukar pandang dengan wanita di hadapanku yang sama-sama tampak terkejut. Dia tidak tahu juga aku akan kemari.

"Mikayla! Oh my God!" Rasa terkejutku kali ini melebihi segala kejutan yang telah diberikan Andrew. Aku memeluk Mikayla dari samping yang membalas pelukannya dengan sebelah tangan karena tangan kirinya menggendong anaknya. "Who is this little angel?" tanyaku usai melepas pelukannya.

Tatapan Mikayla kini beralih pada anaknya, sebuah tatapan keibuan. Tangan kanannya menggerakan tangan anaknya, melambaikan tangan padaku. "I'm Danny!" Suara Mikayla berubah seolah-olah Danny, anaknya, yang berbicara.

"Ah, so cute!" Aku mengusap tangan Danny yang mungil, jemarinya menggenggam telunjukku. "How old is he?"

"18 months." Mikayla membuka lebar pintunya menggunakan tangannya yang bebas. "Come on in. Ryan will be home in a few minutes."

"Ryan?"

"Of course. Who else is gonna be the father of my little boys?" Mikayla menggelengkan kepalanya dan tertawa geli padaku. Dia membuka pintunya lebar-lebar mengundang Andrew dan aku memasuki ruangan lainnya yang terdapat sofa panjang dengan TV yang menyala. Ruang TV itu didominasi dengan warna abu-abu, mulai dari cat, sofa, dan lampu yang berdiri di tiap sudut ruangan.

Journal: The LessonsWhere stories live. Discover now