10 | Greenwich

121 35 47
                                    

"Green ... witch." Zevania berhenti sejenak di bawah papan bertuliskan Greenwich Pier, tempat berlabuhnya Uber boat yang membawa kami dari London Eye Waterloo Pier mengarungi Sungai Thames.

"No, it's Gren-idj," aku mengoreksinya. Tahu betul Zevania akan mengomel.

"Can't you read? Double E and double U! Green-witch." Dia menepuk pundakku dan menunjuk papan itu dengan kedua tangannya.

"The E and W are silent."

"I can't understand English. What's the point of adding a letter in a word and then ignoring it?"

"And what about you added T to wich? Wich not Witch."

Pelafalan dalam bahasa Inggris yang tidak konsisten menjadi topik utama yang dibahas oleh Zevania sepanjang perjalanan dari London Eye Waterloo Pier hingga berlabuh di Greenwich Pier. Memang salahku sendiri yang pertama mengungkit tentang pelafalan dalam bahasa Indonesia. Lalu, Zevania tidak terima dan malah menyerangku dengan fakta bahwa bahasa Inggris adalah bahasa paling tidak konsisten di dunia. Aku tidak marah dia dengan sengaja komplain tentang ketidakkonsistenan itu, justru merasa gemas sendiri karena ini pertama kalinya aku melihat ada hal yang tidak disukainya tentang Inggris. Selama ini dia selalu memuji negaraku ini.

Kursus bahasa Indonesia yang diberikan Zevania juga jadi terhambat karena perdebatan pelafalan ini. Aku tahu betul dia tidak menyangka bahwa aku akan memintanya mengajariku bahasa Indonesia. Sejujurnya ini juga berada di luar rencanaku. Aku tidak tahan ketika dia ditelpon Ravi tadi pagi, membicarakan sesuatu yang sepertinya penting, dan aku hanya berdiri di sana tidak memahami satu kata pun kecuali 'thanks' di akhir panggilan. Mengapa Zevania mengucapkan terima kasih? Apa yang mereka bicarakan?

Aku tahu kursus kilat ini tidak akan berdampak banyak padaku, membuatku langsung mengerti bahasa Indonesia—mengingat hanya tersisa delapan hari hingga guruku ini pulang ke negaranya. Aku benci mengingatnya tapi aku dapat menjadikan kursus ini sebagai alasan untuk terus berkomunikasi dengan Zevania. Itu yang terpenting. Aku tidak akan mengulangi kesalahan yang kuperbuat sepuluh tahun lalu. Ikatan tak kasat mata yang telah bersambung kembali tidak boleh terputus lagi.

Apabila Zevania tidak bisa tinggal di London (karena merampok bank terdengar mustahil), aku bisa saja pindah ke Indonesia. Ke kotanya. Itu tidak masalah bagiku. Zevania sendiri yang bilang bahwa aku dapat membeli rumah yang dapat menampung seluruh skuad Arsenal di Indonesia.

Aku mulai bicara melantur. Dua hari bersama Zevania setelah berpisah selama sepuluh tahun membuatku tidak bisa berpikir jernih. Aku dan dia sudah berusia 26 tahun. Bukan waktunya main-main. Aku harus merencanakan semuanya dengan matang-matang. Menjual rumah peninggalan Dad di Islington bukanlah sebuah keputusan yang bijak. Mum dan Kate bisa-bisa jantungan mendengarnya karena aku bertindak gegabah. Rumah itu tidak akan dijual. Tabunganku mungkin cukup untuk membeli rumah biasa di Indonesia. Tidak perlu kolam renang, tidak perlu lapangan bola. Hanya ada aku dan Zevania.

Fokus, Andrew!

"Jadi kita di Green-witch." Zevania masih saja sengaja melafalkannya nama borough ini dengan salah—untuk membuatku kesal, aku tahu. "GMT, benar?" Aku mengangguk, dia melanjutkan, "Apa singkatan dari GMT? Aku lupa atau tidak tahu. Kau pemandu wisatanya."

Aku terkekeh kecil mendengarnya. Tidak masalah Zevania tahu atau tidak. "Greenwich Mean Time," jawabku, tentu dengan pelafalan yang benar, dilengkapi penekanan pada kata Greenwich. "Kau tahu City Hall dan The Shard terletak di borough apa?"

"Southwark." Kedua alias Zevania terangkat, tampak percaya diri dengan jawabannya. Sedikit angkuh. Dia menjawab South-wark.

Akan tetapi, sesuai dugaanku, dia masuk ke dalam perangkap. "Salah."

Journal: The Lessonsحيث تعيش القصص. اكتشف الآن