14 | Highbury

124 35 60
                                    

Islington selalu terasa seperti rumah. Terlepas dari keberadaan Stadion Emirates yang menjadi kandang The Gunners dan impian parah The Gooners, menurutku, kawasan ini yang paling layak huni di antara borough di London lainnya. Lokasinya strategis, terasa hidup tapi tidak terlalu ramai dipenuhi oleh para turis seperti di pusat kota. Aman dan tentram. Itu sebabnya aku berpikir-pikir lagi untuk menyewa flat di borough lain. Bagiku tidak ada tempat senyaman Islington.

Dan, kuharap Zevania juga merasakan hal yang sama. Meski tampaknya, Manchester lebih terlihat seperti rumah baginya.

"Sabtu ini di Old Trafford." Aku menunjukkan tanda reservasi berhasil kepada Zevania. Kami akan mengunjungi markas Manchester United pada hari Sabtu, sehari sebelum pernikahan Kate.

"Sayangnya tidak ada pertandingan." Zevania meminta ponselku, melihat isi surelnya. Selama bulan Juni memang tidak ada jadwal pertandingan karena musim sudah berakhir. "Stadium tour? Wah kau pasti semangat, Andrew."

"Kenapa aku yang bersemangat?"

"Karena kau akan melihat trofi Liga Champions." Zevania tersenyum meledek, berlari mendahuluiku keluar gerbang sekolah, ponselku masih berada di genggamannya. Dia berteriak, "Tidak ada trofi Liga Champions di Emirates!"

Aku melambaikan tangan pada Phillips, penjaga sekolah yang sedang menutup pintu utama. Kemudian, berlari mengejar Zevania. "Aku masih bisa membatalkan reservasinya."

Zevania mengangkat ponselku ke udara. "Aku tidak akan mengembalikan ponselmu."

Langkah kakiku melambat karena aku merogoh ponselku yang khusus digunakan untuk kerja. "There is always plan B in my book." Aku balas mengangkat ponselku seperti yang dilakukannya.

"Maafkan aku. Tolong jangan dibatalkan." Zevania kembali menghampiriku dan menyerahkan ponselku.

"Tergantung bagaimana sikapmu." Aku memasukkan ponsel kerja ke dalam tas kamera dan ponsel pribadi ke saku celana.

"Tergantung bagaimana sikapku?" Zevania menengadahkan kepalanya. "Kau pikir aku anak kecil?"

Tangan kananku mendarat ke puncak kepala Zevania, lalu membuat garis ke arah daguku. "Kau lebih pendek dariku, setara dengan anak kecil."

"Aku termasuk tinggi di Indonesia." Dahi Zevania mengerut, tidak terima kupanggil anak kecil.

"Sekarang kita ada di mana?" balasku.

Mulut Zevania mengatup. Lalu, dia memutar bola mata. "Terserah." Dan dia berjalan sambil menghentakkan kaki mendahuluiku di sisi kanan jalan.

"Jaga sikap."

Dia memelankan langkah kakinya, tidak dihentakkan seperti sebelumnya. Dia menolak dianggap sebagai anak kecil tetapi tingkah lakunya justru semakin menggambarkan anak kecil. Aku menyusulnya dengan mudah dan berjalan beriringan dengannya.

Lucu juga menyuruhnya untuk menjaga sikap. Sesuatu yang tidak bisa dan tidak akan dilakukan oleh Andrew sepuluh tahun yang lalu. Aku merasa dalam kurun waktu empat hari ini, hubunganku dengan Zevania jauh lebih dekat daripada dulu hampir setahun dengannya. Kami berdua dapat berbicara dengan santai dan saling melemparkan canda. Mungkin karena bertambahnya usia. Kami jauh lebih dewasa daripada dulu yang masih belum mengenal dan mengontrol emosi dan ego masing-masing.

Perihal aku mabuk juga, aku memutuskan untuk membiarkan Zevania menang taruhan karena sejujurnya lebih baik aku tidak tahu sama sekali apa yang kubicarakan saat mabuk. Selagi Zevania tidak marah padaku, seharusnya tidak ada hal-hal aneh yang kubicarakan atau lakukan. Sebaliknya, justru Zevania tampak lebih banyak bicara dan bercanda. Kurasa aku tidak mengatakan atau melakukan apa-apa yang menyingunggnya.

Journal: The LessonsWhere stories live. Discover now