26 | London - Manchester

125 31 17
                                    

"Mau lari bersama?" Aku sengaja menyebutkan London, semata-mata untuk menyogok Zevania karena kelemahan gadis itu adalah tidak bisa mengatakan hal negatif terhadap London. Apa pun yang berkaitan dengan London selalu menariknya. London adalah umpan yang paling ampuh.

"Aku tidak punya sepatu dan pakaian untuk lari." Tentunya dia mencari alasan untuk menolak. Seperti ketika aku mengajaknya adu penalti.

"Kita bisa beli atau kau bisa pinjam punyaku—atau punya Kate. Mungkin yang kau maksud tidak punya niat untuk lari." Aku menggodanya lagi, reaksinya selalu membuatku senang. Entah malu-malunya atau kekesalannya. Aku menyukai Zevania yang ekspresif, yang selalu mengatakan yang ada di kepalanya. Setelah membaca jurnalnya, aku tahu kepalanya sangat berisik, tapi dia tidak bisa mengatakannya secara langsung. "Jangan cari alasan. Tadinya kau juga tidak punya gaun untuk dikenakan di pernikahan Kate dan lihat kan? Ada jalan keluarnya," tambahku.

"Oh, tolong jangan bahas itu." Zevania meletakkan kopi di atas meja penyangga dan menangkup wajahnya sambil menunduk. Kacamata hitam masih menutupi sebagian besar wajahnya—ya, kacamatanya kebesaran tapi aku tidak akan memberitahunya. Dia tampak lucu dengan kacamata seperti itu, ditambah alasannya yang membuatku merasa bersalah.

Aku memang penasaran setengah mati akan pendapat Zevania setelah dia membaca jurnal yang berisi kisah hidupku selama 10 tahun ini pasca kepergiannya. Ada topik sensitif di dalamnya, termasuk tentang June dan bagaimana aku menyakiti gadis itu. Aku sangat khawatir Zevania akan berpikir bahwa aku akan melakukan hal yang sama padanya; itu sebabnya aku benar-benar takut dia akan kabur dan membatalkan rencana ke Manchester denganku. Membiarkannya membaca jurnal yang memang kutulis untuknya berarti membuka seluruh rahasia hidupku. Aku sudah memikirkan risikonya, tapi aku tidak tahu apakah aku siap menanggungnya.

Zevania mungkin berpikir aku tidak sebaik yang dia kira atau aku telah berubah. Dia bilang dia lebih suka Andrew versi bocah, yang sejujurnya meningkatkan rasa khawatir yang memenuhi rongga paru-paruku. Sifatku 10 tahun yang lalu sangat tidak tertolong. Namun, di sisi lain, aku tidak merasa menjadi pribadi yang lebih baik daripada dulu.

Tadi malam sebelum aku mengantarnya pulang, kami mampir ke sebuah butik milik temannya Kate. Mum yang mengusulkannya; dia sudah menebak bahwa Zevania tidak mungkin membawa gaun untuk ke pernikahan. Gadis itu kemari untuk liburan, siapa sangka dia akan menghadiri pernikahan? Siapa juga yang menyangka aku akan membawa pendamping ke pernikahan Kate?

"Andrew, sudah kubilang kan kalau aku belum siap?" adalah hal pertama yang Zevania katakan ketika kami memasuki pelataran butik yang terletak di Mayfair. Dia menahan langkah kakinya di anak tangga pertama.

Tidak butuh waktu lama bagiku untuk menyadari maksud dari perkataan Zevania, maka aku tergelak karena menanggapnya lucu. Dia salah paham. "Kau belum siap hadir ke pernikahan Kate?"

"Eh?" Dia tampak kebingungan. "Maksudmu?"

"Kau belum siap karena kau tidak membawa gaun untuk menghadiri pernikahan Kate, kan?"

Wajah Zevania, yang terkena cahaya kuning padam pantulan lampu butik, tampak memerah. "Lupakan," katanya sambil menggelengkan kepala.

Sebenarnya aku ingin terus menggodanya, tetapi aku menghindari adanya kemungkinan Zevania akan berubah pikiran, jadi aku langsung masuk ke dalam butik dan meminta mereka menunjukkan sebuah gaun berwarna biru muda—agak bertolak belakang sebenarnya dengan fakta bahwa calon suami Kate yang merupakan penggemar Manchester United dan latar belakang keluargaku juga yang mendukung klub Manchester merah itu. Namun, apa boleh buat? Warna favorit Kate adalah biru langit seperti warna Manchester City. Kate secara khusus meminta para tamu undangannya untuk mengenakan warna seragam. Aku juga menjelaskannya kepada Zevania dan dia hanya mengiyakan. Dia selalu begitu.

Journal: The LessonsWhere stories live. Discover now