03 | Notting Hill

184 43 56
                                    

"Why do you only stay for ten days instead of a month?"

Seharusnya aku marah karena Andrew mengganggu waktu makanku dengan pertanyaan yang membawaku terbang ke atas awan, lebih tinggi dari The Shard. Pertanyaan yang dilontarkan Andrew seolah-olah terdengar bahwa dia berharap aku dapat tinggal lebih lama di London, bersamanya karena Andrew dan London adalah satu kesatuan.

I wish I could stay longer, aku menjawab dalam hati sambil menyantap makan siangku, mengunyahnya dengan perlahan, menikmati setiap detik yang kumiliki di London. Orang-orang di sekitarku berbicara dengan bahasa yang berbeda-beda, kurasa mereka juga turis sepertiku. Siapa orang asli London datang kemari untuk makan siang? Kurasa Andrew sendiri tidak akan melakukannya jika tidak mengajakku.

Aku berpikir bagaimana menjawab pertanyaan pria di hadapanku ini. Aku juga berharap dapat tinggal lebih lama di London. Seandainya aku bisa, aku pasti akan melakukannya. Namun, aku masih memiliki kehidupan di Indonesia yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja. "Aku hanya memiliki waktu cuti sepuluh hari. Setelah itu, aku akan kembali ke Indonesia," jawabku, berharap Andrew mengerti bahwa pekerjaanku tidak sebebas pekerjaannya.

"What do you do now for a living?" Andrew bertanya lebih jauh. "Journalist?"

Aku mengusap ujung bibirku dan berhenti makan untuk menjawab pertanyaan Andrew. Tentunya dia berpikir aku akan menjadi seorang jurnalis. "I work as a PR in a company in the MICE industry-stuff like that." Jenis pekerjaan yang tentu saja sudah dikenal oleh Andrew karena sedikit berhubungan dengan sektor yang ditekuni oleh pria itu.

Aku juga memberitahu Andrew (dengan harapan dia juga akan melakukan hal yang sama) setelah kembali ke Indonesia, aku bersekolah di sebuah SMK dan mengambil jurusan Usaha Perjalanan Wisata, tentunya dengan harapan aku bisa kembali ke London meski hanya sebagai pendamping para turis. Kemudian, aku melanjutkan berkuliah jurusan Terapan MICE. Setelah lulus, aku mendirikan sebuah perusahaan MICE bersama teman-teman kampusku. Tentunya perjalanan karierku tidak berjalan mulus. Butuh dua tahun agar perusahaan kecil-kecilan itu tidak gulung tikar.

"That's so impressive and suits you." Andrew masih seperti Andrew yang kukenal dulu, selalu memberi apresiasi terhadap apa pun yang kulakukan.

"You know that Annika and her band is one of the biggest bands in the world, right?" Aku yakin betul Andrew pasti tahu. "Sounds From London." Mereka mengganti nama band dari The Villains menjadi Sounds From London. Tyler yang paling tidak terima dengan perubahan nama itu karena dia yang mengusulkan nama The Villains.

"They are massive." Andrew tertawa sambil menganggukkan kepala seperti dugaanku. "I shot their debut album photoshoot."

Mendengarkan kabar itu justru seperti menusukku karena merasa sudah ketinggalan banyak hal. Album debut milik Sounds From London bertajuk Explosions, CD albumnya dipajang di dinding kamarku. Pasti ada credit atas nama Andrew Stanley pada album tersebut tetapi aku tidak pernah memperhatikannya. Aku selalu melewatkan detail kecil. Aku bertekad untuk mengecek albumnya setelah pulang ke Indonesia.

Aku benci kata pulang dan ini baru hari pertamaku.

"I love the photoshoot. Annika said the explosion effect was real." Sejujurnya aku tidak tahu harus bereaksi seperti apa karena pertanyaan bodohku secara tidak langsung telah mengekspos diriku yang tidak tahu bahwa Andrew turut andil dalam album debut Sounds From London.

"It was." Andrew diam sejak. "Real."

"Their first concert in Indonesia was promoted by my company." Aku tidak bermaksud untuk pamer tapi rasanya ingin sekali memberitahu kehidupanku pada Andrew tanpa alasan. Aku ingin dia tahu sejauh apa aku telah berkembang karena aku juga ingin tahu tentang perkembangannya. Dan, topik tentang Sounds From London ini menyatukan kami berdua.

Journal: The LessonsWhere stories live. Discover now