23 | Soho

141 27 65
                                    

Apa yang tadi kubilang pada Andrew sebelum dia bertemu June? I will be waiting for you? Promise? Sial. Seharusnya aku tidak perlu berjanji juga, seharusnya aku langsung pulang ke hotel. Dengan demikian, aku tidak perlu menunggu dengan cemas dikelilingi oleh para aktor-aktris teater yang sudah sangat saling mengenal ini. Dari lirikan yang mereka berikan padaku, kurasa merasa tahu 'siapa' aku. Terutama ketika Andrew muncul dan sekarang sedang berbicara empat mata dengan June di ruang ganti.

Di antara mereka semua, hanya Keira yang mengajakku mengobrol. Membicarakan tentang pendapatku mengenai penampilan teater mereka. Sesaat aku lupa bahwa yang memerankan karakter Bonnie adalah June karena penampilannya yang berubah drastis. Rambutnya yang merah dipakaikan wig menjadi lebih pendek ikal khas rambut tahun 1930an, aksennya yang tadinya terdengar sangat RP, berubah menjadi American. Aktingnya tidak perlu diragukan. Lawan mainnya, Felix, yang berperan menjadi Clyde juga memiliki kemistri yang sangat baik dengan June—terlepas dari fakta bahwa mereka berdua adalah sepasang kekasih di dunia nyata.

Setelah menunggu ribuan tahun, akhirnya June dan Andrew keluar dari ruang ganti itu. Andrew langsung memindai ruangan, tampak mencariku dan ketika mata kami bertemu, dia tidak berpaling sama sekali. Ada yang berbeda dari raut wajahnya yang kini penuh kelegaan, tidak cemas dan gelisah seperti saat dia tiba-tiba muncul ketika aku berpelukan dengan June.

Pandanganku beralih pada June yang telah menghampiri Felix sambil tersenyum sangat manis dan menganggukkan kepala. Kurasa masalah antara June dan Andrew telah selesai. Tinggal masalahku dengan Andrew. Lututku mendadak terasa lemas, teringat dengan drama pertengkaranku kemarin malam dan kata-kata pedas yang keluar dari mulutku. Sepertinya yang berhak marah adalah Andrew, bukan aku. Kalau dipikir-pikir, Andrew tidak salah. Aku pernah memberitahunya bahwa siapa pun bisa membaca jurnalku. Mana dia tahu bahwa ada tulisan tentangnya?

"Bagaimana kalau kita makan mal—" Ajakan makan malam Felix tidak sempat diselesaikan karena June sudah memberikan isyarat padanya untuk berhenti bicara.

Sungguh dapat dibaca. Lututku semakin melemas ketika Andrew meminta maaf kepada para crew teater karena telah meminjam waktu aktris utama mereka, lalu dia berpamitan dan berjalan melewati bahuku. "Tepati janjimu," bisiknya yang membuat sekujur tubuhku merinding. Sepertinya lebih baik kalau aku ikut makan malam dengan para crew teater meski mereka tampak tidak menyambut kehadiranku.

Tamat sudah riwayatku.

Dengan langkah terseret, aku menyusul Andrew meninggalkan teater. Tentunya setelah berpamitan dan berpelukan sekali lagi dengan June dan Keira. June bilang bahwa dia sudah berdamai dengan Andrew dan semua akan baik-baik saja. Kata-kata June tidak mempan untuk membuatku tenang karena Andrew tampak menyeramkan dibandingkan kemarin. Kami tidak pernah bertengkar jadi aku tidak tahu bagaimana meminta maaf atau menerima permintaan maaf darinya.

Andrew menunggu di trotoar dengan tangan yang melipat di dada, matanya terkunci padaku, semakin dekat dia semakin terlihat menyeramkan dan mengintimidasi. Bibirnya membentuk garis lurus. Setiap langkah yang kuambil, aku memikirkan segala kemungkinan ketika jarak antara Andrew dan aku tersisa satu langkah. Katanya June telah menyelesaikan urusannya dengan Andrew, itu berarti...

Aku bisa saja langsung lari dan kabur darinya.

Tindakan konyol, Zeva.

"Mau makan malam?" Adalah kata pertama yang keluar dari mulut Andrew. Suaranya sangat halus, dia tidak pernah berbicara seperti itu sebelumnya. Matanya yang tadi menatapku tajam juga sudah melembut. Mata biru lautnya. "Makan malam?" Andrew mengulang pertanyaannya lagi, aku beradu tatap dengannya sesaat lalu segera memalingkan wajah. "Ada cafe Prancis di sekitar sini. Mau ke sana?"

Journal: The LessonsWhere stories live. Discover now