Chapter 9

1.5K 177 14
                                    

Untuk pertama kalinya setelah sekian tahun, (Name) kembali melihatnya di hadapan mata. Pria itu, bisa dibilang orang yang pernah dekat dengan (Name) di jaman kuliahan.

"Wah, lama gak ketemu. Apa kabar, (Name)?".

"Baik ... kau sendiri?"

"Aku juga."

Saat sedang memilih bahan masakan di salah satu pedagang pasar, pria itu datang menghampirinya. Selain berpikir hal yang tadi, (Name) juga memikirkan ternyata pria bisa ke pasar untuk berbelanja.

Setelah (Name) selesai membeli di sana, ia pergi menuju tempat daging. Astaga, ternyata dirinya diikuti. Namun, (Name) tetap terlihat biasa-biasa saja.

Setelah selesai berbelanja, (Name) pun hendak pulang dan masih saja diikuti sedaritadi. Haduh, apa mungkin (Name) punya hutang masa lalu dengan pria itu, sampai-sampai diikuti terus.

"Mau pulang?" celetuk pria itu.

(Name) menoleh ke arahnya. "Iya."

"Aku antar ya, kebetulan aku juga akan pulang."

'... Sungguh merupakan kebetulan yang tidak betul-betul.'

"Engga perlu, aku udah pesan ojek."

"Ojek kan bayar, kalau aku gratis."

(Name) berbohong. Padahal, ia menyuruh ayahnya yang menjemput.

Melihat ada mobil yang tak jauh dari depan pasar, (Name) pun segera menghampirinya. "Duluan, ya!" ucapnya, sebelum benar-benar pergi dari hadapan pria itu.

Ia hendak mencegatnya, jika saja sang ibu tidak mengirimkan pesan untuk segera pulang. Pria itu menatap ke arah (Name) yang kini sudah dibawa pergi oleh mobil yang dinaikinya barusan.

'Kukira ojek motor.'

=====

"Tumbenan kamu mau ke pasar,"

"Mumpung bahan makanan lagi tipis, yakali ke supermarket terus, ayah. Pasar 'kan lebih dekat, dan barangnya lebih murah."

Setelah menata isi kulkas, (Name) pergi ke sofa dan duduk di sana. "Oh ya, Oboi udah minum susu pagi ini?"

Amato seketika menepuk jidat. "Untung kamu nanya. Ayah yang buatin, deh."

(Name) hanya geleng-geleng kepala. Ia sibuk memperhatikan Oboi yang sedang asik bermain mobil-mobilan di lantai dekat sofa. (Name) lantas mendekatinya dan duduk di dekatnya. Oboi tampak cuek saja.

"Main apa, tuh?" tanya (Name) berbasa-basi.

"Bummm ... hmm?? Mbim-mbim!"
(Brummm ... hmm?? Mobil-mobilan!)

"Mbim apa?"

"Mbim deee, unya Oboi."
(Mobil gedeee, punya Oboi.)

(Name) terkikik geli. "Gede, ya? Segede apa?"

"Edeee, ni." ucap bayi kecil itu sambil merentangkan kedua tangan, menunjukkan seberapa besar mobil yang ia maksud.

"Wuih, gede banget, ya? Boleh dong kakak naik,"

Oboi menggeleng kuat. "Nda! Mbimna puna Oboi, olang lain nda oyeh naik!" (Gak! Mobilnya punya Oboi, orang lain gak boleh naik!)

"Ihh, Oboi pelit, ya." Tangannya lantas terulur untuk menoel pipi chubby adiknya. "Nda boleh pelit gitu, tau. Orang pelit nanti nda dapat pahala. Oboi 'kan mau dapat pahala yang banyak,"

"?! Ya uda, aka oleh naik! Cama aya juga."
(?! Ya udah, kakak boleh naik! Sama ayah juga.)

(Name) terkekeh geli, lalu ia mengelus kepala Oboi sampai sedikit mengacak rambutnya.

Widower [✓]Where stories live. Discover now