Chapter 3.1

3.5K 412 27
                                    

Museum Yoksa

Sangat megah dan luas, Seoul memiliki tempat koleksi benda sejarah yang cukup keren. Hanya saja, eksterior bangunan museum Seoul sangat modern dan tidak ada gaya klasik. Dan yeah, Freen tidak bisa memaksakan kehendaknya, dia tak punya kuasa untuk mengubah tampilan museum ini. Meskipun begitu dia akhirnya tetap menikmati suasana tempat para benda bersejarah ini berkumpul.

Ada banyak yang diperlihatkan di sini, artefak peninggalan raja-raja, kaligrafi, kertas yang tampak berumur ratusan tahun, keramik dan lukisan klasik. Bahkan, artefak dari berbagai negara seperti cina, jepang dan indonesia pun ada di dalamnya. Semua itu sengaja di perlihatkan di ruangan aula yang besar itu. Freen menikmati apa yang dia lihat, otaknya terfokus pada ilmu yang telah dia pelajari. Tampaknya, wanita pemandu wisata palsu ini ingin melakukan pekerjaannya. Namun, dia lihat banyak sekali orang yang jalan bergandengan, ada bersama keluarga, jarang sekali ada yang sendiri.

Kali ini Freen tidak ingin berbicara di depan orang banyak, dia tidak ingin di pertanyakan siapa kamu? apakah kamu mempunyai lisensi untuk ini? Dia bahkan tidak menerima uang, tapi beberapa orang kerap menanyakan hal itu. Dia tidak ingin membuat ulah di Korea. Juga, pemandu wisata asli sedang tidak di sini. Freen tak bisa berbuat apa-apa.

Freen berjalan menelusuri beberapa artefak itu, perhiasan kuno pun di perlihatkan. Freen tau beberapa di antara mereka banyak yang tiruan, karena yang aslinya ada di negara asal. Freen baru saja melewati tempat kaligrafi dan teks bersejarah, sekarang Freen menuju tempat lukisan klasik, dia sangat menyukai bagian ini.

Banyak sekali lukisan yang dipamerkan, ada potret raja, lukisan klasik pemandangan dengan goresan kuas pelukis korea, ada juga ukiran burung yang berterbangan. Semua tampak berkelas, pelukis zaman dulu sangat memperhatikan detail dan hampir tidak ada cacat dari goresan itu, seakan mereka melukis dengan jiwa.

Freen melihat lukisan aurora, dia sangat menyukainya. Freen melihat seorang wanita menggunakan gaun putih sedang berdiri di depan lukisan tersebut. Dia melihat tongkat putih itu sedang di pegang erat oleh wanita tersebut. Dia buta, pikirnya. Selain itu, Freen menyukai rambut wanita itu, sebahu.

Dengan senyuman dibibirnya, Freen mendekati wanita itu, dia berdiri di sampingnya. Dia takjub dengan cara wanita itu memandang lukisan aurora itu seolah dia bisa melihatnya dengan jelas, dia bergeming seakan meresapi lukisan indah itu. Freen juga memperhatikan tas yang disandang, ada kertas yang tampak keluar sedikit dari tas tersebut, tak masuk seluruhnya. Dia melihat, ada tulisan rumah sakit Seoul di bagian kiri kertas, dan data nama pasien, Rebecca Swift.

Freen mengangguk pelan, bibirnya mengucap tanpa suara, Rebecca Swift? Rebecca? Becca? Freen menebak nama wanita itu. Becca. Dan, tampaknya Freen sudah menebak nama wanita di sampingnya. Namun, agak lama dia kelihatan bingung sendiri, Bagaimana dengan Swift? Banyak hal yang dia pikirkan dengan dua kata nama itu.

Becca, saja.

Freen mengangguk sendiri, dia memang sering begitu. Bicara sendiri, tipikal anak jenius.

Freen pun mulai melancarkan aksinya, dia ingin memamerkan ilmu pengetahuannya kali ini. Dia akhirnya mulai berkata, "Bukankah lukisan ini sangat menarik? Pelukisnya bernama Aurora, dan lukisan ini dinamakan Zona The Aurora, artinya tempat sang sinar aurora berada." Freen selalu tersenyum dalam setiap kata yang dia jelaskan, dia berbicara seperti itu, cara dia berkata juga lembut dan terkesan pelan, semua itu dia lakukan agar menarik perhatian pendengar.

Setelah itu Freen berkata tentang sejarah lukisan tersebut, "Lukisan ini dibuat saat wanita itu merindukan kekasihnya yang telah tiada, dia pergi menjelajah sendiri ke gunung es itu. Dia menempuh jarak yang sangat jauh dan berbahaya." Suara Freen mewakili perkataannya, dia berkata lagi, "Musim salju, musim dingin sekitar november tahun 1541, dia membuat lukisan itu di bawah aurora yang sedang bersinar. Kaki kirinya penuh dengan perban, dia amat kesakitan, darah yang tak kunjung berhenti tidak membuatnya berhenti melukis sinar aurora itu." Freen tersenyum sedih sekarang, dia seakan merasakan betapa sakitnya melukis dengan keadaan seperti itu.

DOT OF LIFE - FREENBECKYWhere stories live. Discover now