Chapter 17

3.3K 362 21
                                    

Dia sungguh tak tau arah, dia tidak buta seperti wanitanya. Ketika hati itu diminta untuk menunggu kata yang sangat dia inginkan, ruang sabar pun terbuka, merelakan sebuah harapan yang telah terjalin dari saat pertama menatap pesona itu. Seharusnya tak ada batas waktu, kata menunggu tak ada jaminan, dia tetap berjalan dalam hubungan itu, yang baginya masih belum pasti dan masih goyah. 

Namun dia belajar satu hal, perasaan tidak harus dibatasi dengan satu kata, ada banyak cara untuk mencerminkan rasa itu, hening pun kadang ikut berbicara, jadi mengapa harus begitu sedih saat kata yang diinginkan belum terucap? Dia tersenyum, dia menunggu, tapi tidak terlalu mengharapkan. Dunia sudah memberi jalan untuk bertemu dengannya, itu sudah cukup. Kehadirannya, itu lebih dari cukup. 

Tidak ada yang memberontak, semua dalam dirinya memeluk hatinya untuk melewati itu semua. Freen yakin, dirinya bisa memberi kehangatan hati yang terluka itu. Dia juga menatanya dalam setiap detik waktu, lagi-lagi dengan harapan wanita yang berharap cinta baru ini bisa memberinya rasa aman dengan kepastian. Freen tersenyum, walaupun dia sudah berbisik untuk sabar, hatinya tak pernah berhenti menuntut. Meskipun begitu Freen tetap diam, dia tak akan meminta. 

Sekarang Freen masih berusaha untuk meredam keinginannya. Dia tak kentara, semua itu tertutup dalam riang tawanya. Sampai waktu yang tak terbatas, dia harap ruang sabar itu selalu terbuka. Freen sadar, dirinya selalu seperti ini, jika dia suka maka harus dia dapat, jika tidak dia akan menghindar. Namun kali ini, wanita yang dia inginkan berhasil membuatnya untuk menunggu, tidak terburu-buru.

Becky, sembuhkanlah hatimu, aku tak akan lelah menunggu.

Freen tak sadar dia termenung begitu lama, wanita di sampingnya berkata banyak hal namun tak dia dengar. Matanya hanya menatap lembut wajah itu, Freen selalu mengagumi semua tentang Becca. Freen bisa merasakannya, sebuah perasaan takut yang selalu mengikutinya tiba-tiba lenyap saat berada dekat wanita ini. Sama seperti dirinya menatap bangunan kota bersejarah, artefak penuh cerita, peninggalan yang berharga, pikiran Freen teralihkan sepenuhnya saat bersama Becca. Freen sungguh tergila-gila karena semua ini, ketenangan, pengalihan dan rasa nyaman, semua ada dalam diri Becca. Dia bahkan sempat bertanya, mengapa bisa seperti ini? Freen tidak mencari tau jawabannya. Dia hanya menikmatinya. 

"....jika semua itu sudah kamu singgahi, apakah kamu bisa kembali lagi ke tempat yang sama?" Becca berbicara tentang pekerjaan Freen sebagai pemandu wisata, dia penasaran bagaimana sistem kerja Freen, karena sekarang tampaknya Freen tak melakukan apapun, dia selalu berada di apartemen dan menghabiskan waktu tanpa mencari uang. Becca bertanya banyak hal, dia bahkan tidak menjedanya. Tapi Becca tidak melihat, wanita di depannya tak mendengarkan sedikit pun. 

Freen masih tersenyum, raut mukanya sungguh menatap Becca dengan seluruh hatinya. Siapapun yang melihat Freen sekarang, mereka pikir Freen tuli, tak mendengar. Sebab, itulah yang terjadi, Freen sungguh diam, perkataan Becca tak ada satu pun yang dia tangkap. 

Lagi, hidung Freen ditarik pelan Becca. Dia pun lepas dari lamunannya, alisnya terangkat, wajahnya terkejut. Dia berkata, "Apa salahku, Babe?" Dia bahkan menggunakan kata sayang itu, baginya kata itu sangat manis dan enak di dengar. 

"Kamu tidak mendengarkanku lagi." Becca merasa kesal dengan tak ada respon tersebut. 

Freen dan Becca sedang kencan di cafe, satu meja kecil dan dua kursi saling berhadapan. Beberapa cookies disiapkan, dengan susu cokelat panas untuk mereka berdua. Semua manis, menu ini tak masalah bagi Freen dan Becca, mereka menyukainya. Waktu yang dilalui pun cukup lama di sini, karena tempatnya seakan dibuat khusus untuk bercerita dan sangat indah. Freen menyukai cafe ini, tentu karena Becca ada di depannya. Di mana pun itu, sebenarnya Freen tak masalah, asal wanitanya berada di dekatnya. 

DOT OF LIFE - FREENBECKYWhere stories live. Discover now