Jam pelajaran telah usai, ditandai dengan bel yang berbunyi cukup lama. Murid-murid sudah berhamburan dari beberapa kelas, kecuali kelas XII-B yang masih tertahan oleh pelajaran Pak Burhan. Laki-laki berkacamata itu seakan membutakan penglihatan dari wajah-wajah memelas muridnya. Tidak terkecuali Langit, Ia menunjukan kekesalan lewat decakan keras.
"Kenapa Langit?" Tanpa menoleh ke asal decakan pun, Pak Burhan tahu pasti siapa dalang dibaliknya.
"Pegel pak, mau pulang," ujar Lelaki tersebut dengan santai. Tangannya sudah bergerak, memasukan buku pelajaran ke dalam tas. "Lagian ini udah waktunya pulang."
Memang siapa sih yang tidak kenal Langit? Seorang murid berandalan yang sayangnya memiliki wajah rupawan. Langit tampan, sangat-sangat tampan. Hanya saja Laki-laki itu tidak dapat memanfaatkan ketampanannya dengan baik.
Alih-alih dikagumi, Langit lebih menyukai dibenci. Daripada menghabiskan waktu dengan teman-teman, Langit lebih menyukai kesendirian. Karena dengan sendiri, dia dapat melakukan kenakalan dengan sesuka hati.
"Memangnya, kalau udah waktunya pulang kenapa? Toh, kalau waktu belajarnya ditambah, yang rugi juga saya 'kan? Saya cuap-cuap disini dan kalian hanya cukup duduk manis mendengarkan." Pak Burhan setengah menyindir Langit yang sudah melangkahkan kaki ke depan kelas.
"Siapa bilang? Saya, anak-anak lain dan Sekolah ini juga ikut rugi, Pak." Langit membuang napas. Merasa lelah dengan perdebatan yang agak panjang ini. Biasanya jika minggat, guru lain akan langsung mempersilakan dengan ancaman skors ataupun hukuman di keesokan harinya. Sedangkan ... 'Bapak Burhan yang plontos ini, ternyata cukup sulit untuk di curangi.'
"Bisa dijelaskan, sekolah ini rugi dalam hal apa jika saya memperpanjang waktu mengajar?" Pak burhan meletakkan kacamata di atas meja. Meninggalkan meja kebesarannya, untuk kemudian berhadapan dengan Langit.
'Apakah Bapak plontos ini memang sengaja memancingku? Baiklah Langit, ayo kita hadapi dia.' Langit berdehem. "Jika Bapak memperpanjang waktu mengajar, sekolah ini akan rugi dalam hal kedisiplinan. Dan murid yang lain akan kehilangan waktu bebasnya. Bukankah semua harus berjalan sesuai dengan aturan yang telah dibuat?"
"Jika semua harus sesuai dengan aturan yang dibuat, lantas ... kenapa kamu sering melanggar aturan-aturan yang berlaku? Bolos lah, tidur disaat guru menerangkan pelajaran lah, memakai pramuka di hari senin lah, bahkan istirahat pun sesukamu. Tentu saja kami sebagai guru, protes. Tapi, apakah kamu peduli akan protes tersebut? Gak pernah 'kan? Jadi, jika sesekali saya melakukan hal yang melanggar peraturan, harusnya boleh dong. Anggap saja kamu yang mencontohkan. Yang penting, apa yang saya langgar tidak bersipat negative," jelas Pak Burhan panjang lebar.
Langit ingin membantah, dengan mengatakan bahwa apa yang diucapkan Pak Burhan tidak sepenuhnya benar. "Yaudah lah, suka-suka Bapak. Yang jelas saya mau pulang. Permisi." Namun yang keluar dari mulut hanya berupa kalimat masa bodohnya.
Langit memang tidak pernah peduli akan protes guru-guru. tetapi sebagai ganti, Ia menerima hukuman. Pernah kah Langit lari dari hukuman tersebut? Tentu saja, Pernah. Maka tidak heran, jika Langit jadi buronan atas perbuatannya yang lari dari tanggung jawab tersebut.
"LANGIT OCTAVIOS DORADO!"
Langit yang hampir membuka pintu, seketika berbalik dengan gerakan slowmotion. "Gak perlu teriak-teriak, Pak. Sayanya juga masih disini kok."
"Sini, kamu."
"Gak bisa Pak, saya mau pulang. Kalau mau ngasih hukuman, besok a—"
"Berapa nomor absen mu?" potong Pak Burhan kemudian.
"Hah?!" Refleks Langit menggaruk pelipisnya. Pasalnya, dia tidak pernah tertarik untuk menghapal nomor absennya. Buat apa coba?
"13 Pak!" Ujar seorang murid perempuan yang sudah mengangkat sebelah tangannya.

YOU ARE READING
Lintang-Langit [OPEN PO]
Teen Fiction[OPEN PO 08 Sep-22sep] Lintang Maega, perempuan cupu yang mengandalkan kacamata tebal dan kepang dua sebagai perlindungan diri dari orang-orang yang mengganggu masa pendidikannya. Semua berjalan seperti yang Lintang harapkan, sampai kemudian hidupny...