8.

104 26 12
                                        

Selamat membaca....

***

Sepulang kerja sore itu, Elang benar-benar membuktikan ucapannya. Pergi ke rumah Lintang dengan membawa Langit dan Eelona.

"Tapi nanti kalian tunggu di dalam mobil aja, ya? Biar Papa aja yang ngadepin Ibunya Lintang," pesan Elang ditengah-tengah mengemudikan mobilnya.

"Iya," Eelona langsung menimpali, sedang Langit masih memikirkannya.

"Aku nggak iya. Mau ikut aja sama Pap—"

"Mau ngapain? Bikin keributan, lagi? Enggak ya, Langit. Kita diem aja, ngikut intruksi Papamu. Nanti bukannya dapat Lintang, yang ada kamu dapet pengusiran lagi." Eelona yang duduk di jok depan—di samping sang Suami—menyempatkan menoleh pada Langit hanya untuk memelototi anaknya itu.

Langit mencibir. "Kan aku temannya, Ma. Malu dong kalau cuma Papa yang nyamperin."

"Yakin, cuma teman?" Elang masuk kembali dalam obrolan. Bertanya, dengan nada menuduh.

"Kok Papa gitu nanyanya? Kan waktu itu udah kubilang, dia cuma orang yang kebetulan satu kelompok sama aku," timpal Langit setengah kesal. Apalagi setelah melihat reaksi sang Papa, yang hanya mengangguk berulang dengan tersenyum miring.

'Reaksi macam apa itu. Kan gue gak bohong.'

"Langit—Langit. Kamu pikir kami semudah itu apa untuk dibohongi." Eelona turut mendukung kecurigaan sang suami. "Mana ada Laki-laki yang mau menolong teman perempuannya sampai sejauh ini? Kalau bukan karena sesuatu yang spesial."

"Terserah kalian, lah. Yang penting aku udah jujur." Langit bersedekap dada, dan mengalihkan pandangan seketika. Agak susah memang berbicara pada orangtua yang memiliki ego tinggi. Sama-sama sefrekuenis, pula.

"Ini kemana? Belok kanan atau kiri."

"Kiri."

***

Jarak dari sekolah ke rumah Lintang tidak begitu jauh, bisa ditempuh dengan berjalan kaki juga. Tetapi jika menggunakan kendaraan akan sedikit lama, karena jalannya harus berputar menyusuri jalan beraspal. Sementara Lintang dan Kaira bisa memotong lewat jalan setapak.

"Nah tuh, yang itu rumahnya." Langit menunjuk pada sebuah rumah ber cat pink dengan warna yang hampir memudar sepenuhnya. Alih-alih rumah, bangunan tersebut lebih cocok disebut gubuk.

Letaknya memang dipinggir jalan, hanya saja posisi tanahnya agak tinggi. Jadi, jika berjalan kaki akan menanjak. Sementara di dataran yang lebih rendahnya, terdapat pabrik barang bekas dan pembuangan sampah.

"Yaudah. Kalian tunggu disini." Elang langsung membuka safety beltnya tepat setelah memarkir mobilnya di tempat yang lebih leluasa. "Jagain Mama mu, jangan kemana-mana!"

"Kebalik gak, sih? Harusnya kan Mama yang jagain aku."

"Udah, Pa—udah. Gak usah diladenin lagi. Kalau mau debat, tar aja lanjut di rumah." Eelona menghentikan Elang yang akan membuka suaranya. "Dah, sana pergi. Tenang aja, kami akan saling menjaga disini."

"Oke deh."

***

Tok! Tok! Tok!

"Yang cepat dandannya Lintang, Pak Kusuma nya udah datang tuh." Kepala Bu Suri nongol dari balik gorden kamar, berbicara pada Lintang yang masih menyisir rambut.

"Ya," gumam Lintang setengah malas.

Tok! Tok! Tok!

Ketukan di pintu terdengar kembali.

Lintang-Langit [OPEN PO]Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon