Jika ada TYPO, tolong tandai yaa. Selamat membaca 🌺🌺🌺
***
Lintang Maega :
-Oke.
Satu pesan WhatsApp yang dikirim oleh Lintang itu, mampu membuat Langit berteriak kegirangan. Dalam sekali hentakan, Ia menyibak selimut dan langsung ngacir ke kamar mandi. Dengan tekad, hari ini harus berangkat sekolah lebih awal. Ia tidak sabar ingin melihat sosok Lintang seperti apa.
Dari suaranya yang lembut dan namanya yang unik saja, setidaknya sudah memberikan sedikit gambaran bahwa Lintang ini memiliki wajah anggun nan cantik. Iya 'kan?
Lintang Perempuan cantik, Langit sangat yakin akan hal itu.
"Pagi, Pah ... Mah...." Dengan wajah sumringah, Laki-laki itu menuruni tangga. Menyapa kedua orangtua yang kebetulan akan memasuki ruang makan untuk sarapan.
Elang dan Eelona a.k.a orangtua Langit, saling melempar pandang. Wajar saja, karena mereka sedikit heran dengan Langit yang sudah mau berangkat sekolah lebih pagi dari biasanya. Dan sejak kapan anak itu mau berbicara pada mereka?
"Kenapa Langit? Ada masalah?" Sang Papa bertanya.
Langit termenung, turut menyadari keanehannya. Apakah barusan dia berbicara pada orang-orang yang dipanggilnya Papa Mama itu? Untuk apa coba? Lagipula apa yang terjadi, kenapa juga Ia jadi bermurah hati seperti ini?
"Masalah apa? Gak ada tuh. Cuma ingin nyapa kalian aja, kalau gak mau, yaudah." Langit mengedikan bahu, berbicara secuek mungkin untuk menyembunyikan kegugupannya.
Eelona, sang Mama menghampiri dengan senyum hangatnya. "Siapa bilang gak mau? Kami mau kok. Apalagi kalau kamu melakukannya, rutin setiap hari."
Langit memalingkan wajah, merasa jengah mendengarnya.
"Mau sarapan bareng?" tawar wanita itu kemudian.
Sudah lama Langit menjaga jarak dengan kedua orangtuanya. Jika diingat, mungkin sejak dirinya memasuki SMP. Itu semua dilakukan sebagai bentuk kecewa, dari kedua orangtua yang selalu sibuk bekerja.
Langit masih ingat dengan jelas. Dulu sekali, ketika Ia masih begitu kecil selalu mengganggu Mama Papa demi mendapatkan perhatian mereka. Sayang, waktu itu mereka lebih memilih mengabaikan dengan alasan tidak memiliki waktu untuk menemani Langit bermain. Pekerjaan mereka selalu banyak, seakan tiada habisnya.
Sebaliknya, mereka justru memberikan segala macam mainan, yang bahkan Langit sendiri tidak pernah memintanya sekalipun.
Langit hanya meminta waktu mereka sebentar saja. Jika itu terlalu berlebihan, mendapat usapan pelan sebagai pengantar tidur pun sungguh tidak apa. Langit akan benar-benar mensyukurinya.
Sekarang, jangan salahkan Langit jika Ia tumbuh menjadi remaja urakan yang sering melanggar larangan keluarga. Entah itu keluar malam-malam lah, ikut balapan liar lah, menjadi pemberontak di sekolah lah. Bahkan sering sekali kedua orangtuanya mendapat panggilan dari sekolah.
Apakah Langit takut? Tidak.
Jera? Menyesal? Gak pernah juga tuh.
Yang ada Langit bahagia, karena dengan begitu Ia bisa membalaskan dendam masa kecilnya. Sekalipun, dirinya tidak akan membiarkan Elang dan Eelona mendapatkan apa yang mereka inginkan.
Impas bukan?
"Udah ... Sini. Ikut sarapan bareng kami aja," suara Eelona membawa kembali kesadaran Langit, pada keadaan saat ini.
"Gausah pegang-pegang!" bentak Langit seraya menepis tangan Eelona yang hampir menggapainya. "Kulit mulus anda tuh gak diizinkan untuk bersentuhan dengan kulit kasarku."
"Langit! Jaga ucapanmu. Kamu pikir kamu sedang berbicara sama siapa?" akhirnya, suara baritone itu keluar juga dari bibir Elang.
"Loh? salah emang? 'kan bener Pah. Dari dulu pun Mama tuh gak pernah mau menyentuhku. Aku cuma ngingetin dia aja sih, takut dia kelupaan. Tar kalau Mama kenapa-napa, aku juga yang disalahin." Langit tertawa miris.
"Kamu ini, makin gede bukannya sadar malah makin ngelunjak ya. Asal kamu tahu. kalau kami gak pernah memu—"
"Pah, udah Pah. Kendalikan diri Papa. Dia cuma masih sakit hati dengan perlakuan kita selama ini." Eelona mengingatkan, menghentikan Elang yang sudah dikuasai amarah.
"Enggak, Ma. Dia harus ngerti, kalau kita kerja keras juga untuk pendidikannya. Untuk masadepannya nanti."
Langit memutar bola mata, jengah mendengarnya. "Hadeeeeh, malesin banget. Pagi-pagi dah harus lihat drama keluarga yang sangat-sangat bahagia ini," ujarnya seraya melanjutkan langkah kaki untuk menghampiri seseorang. Mengabaikan Elang yang masih berteriak memanggil namanya.
"Udah Pah, udah. Biarkan saja dia pergi. Kita berdo'a saja, semoga dia bisa memaafkan kesalahan kita suatu saat nanti," ucap Eelona yang semakin terdengar samar dalam pendengaran Langit.
Sudahlah, lupakan kedua orangtua yang sok sibuk itu. Kita beralih pada Wanita berhati lembut yang tengah menyiram tanaman ini.
"Pagi Mbaaak Mar. Apa bekalku udah siap?"
***
Di depan pintu, Langit menghalangi setiap murid perempuan yang hendak memasuki kelas. Dibacanya satu-persatu nametag yang tertera pada seragam mereka. Tetapi, satupun tidak ada yang bertuliskan nama Lintang.
Langit mondar-mandir, sedikit lelah dengan pencariannya. Sesekali tangannya bergerak, menggaruk tengkuk yang tidak gatal.
"Lintang, lo masih dimana sih. Gue udah penasaran banget ini." Padahal sebentar lagi bel Masuk akan berbunyi.
'Apa hari ini dia gak masuk sekolah, ya?'
"Selamat pagi, Langitkuuu. Tumben sekali jam segini sudah nangkring disini?"
Langit melirik ke asal suara dengan tatapan sinis. Sama sekali tidak tertarik menganggapi basa-basi Rania.
Kepribadian Bendahara kelasnya ini memang agak sedikit aneh. Kadang galak, kadang lemah lembut. Tergantung lawan bicaranya siapa.
"Kalau ada orang yang nanya tuh, dijawab gitu loh," ujar Rania kembali dengan nada dramatis.
"Mck," hanya itu yang terdengar dari bibir Langit. Raut mukanya berubah dalam hitungan detik. "Lo tahu Lintang yang mana, gak?" tanyanya dengan tatapan lebih hangat.
"Pasti mau bahas tugas yang dikasih Pak Burhan, ya?"
"Harus gue jawab?" Langit bertanya tanpa menyembunyikan rasa kesalnya. Bagaimana tidak? Bukannya memberi jawaban, perempuan dihadapannya ini malah balik bertanya.
"Orang yang lo cari muncul noh."
***
"Orang yang lo cari muncul noh."
"Eh?" Lintang mematung di ambang pintu. Terkejut dengan kehadiran Langit dan Rania yang tengah menatap ke arahnya.
Jantungnya berdebar cepat, tatkala Langit berjalan semakin mendekat ke arahnya. Selama ini, Lintang belum pernah berbicara dengan teman laki-lakinya. Lebih tepatnya para Lelaki itu yang tidak berani mendekatinya.