11.

102 25 9
                                        

Selamat membaca...



***

Lintang menatap nyalang langit-langit kamar yang berwarna putih. Malam ini Ia tidak dapat memejamkan mata dengan cepat, pikirannya dipenuhi oleh bayang-bayang Ibu dan kamar kecilnya yang Ia tinggalkan.

Ternyata benar, semewah apapun kamar yang kamu tempati. Selama itu bukan milikmu, kamu tidak akan betah didalamnya. Tetap saja pemenangnya, kamar kecil yang hanya beralaskan kasur lantai.

Daripada hanya bengong di atas ranjang, lebih baik Lintang menghabiskan waktu dengan membereskan semua barang belanjaan. Pasti setelah ini Ia akan kelelahan, dan siapa tahu dapat ketiduran.

Ternyata barang belanjaannya tidak sebanyak yang terlihat. Setelah tertata, hanya dua sekat lemari yang dapat terisi oleh pakaiannya. Ya, setidaknya Lintang memang membeli apa yang dibutuhkan saja.

Tapi....

"Ini ponsel siapa?" kening Lintang berkerut samar.

Perasaan, tadi dirinya tidak membeli benda pipih tersebut. Bahkan, ponsel itu tidak terbungkus apapun—layaknya ponsel baru. Layarnya sendiri kotor, cukup memperjelas bahwa ponsel ini milik seseorang.

"Apa punya Langit kali ya?" tepat setelah berucap demikian, ponsel bergetar pelan--menunjukan adanya pemberitahuan yang masuk.

Tidak lama kemudian, bergetar kembali. Kali ini dengan getaran yang lebih panjang. Layarnya menampilkan sebuah panggilan masuk dari sebuah nomor tanpa nama.

Tanpa berpikir panjang, Lintang langsung mengangkatnya. Dengan alasan, takutnya nomor yang menghubungi tersebut merupakan pemilik ponsel yang tengah kebingungan mencari barang miliknya ini.

Dengan begini, Lintang dapat memberitahukan jika benda ini berada di tangannya.

"Ha—"

"Kamu belum tidur?" belum sempat mengatakan sepatah katapun, seseorang dari dalam sambungan malah sudah memotongnya.

Pertanyaannya sendiri keluar dari mulut seorang Laki-laki yang sudah sangat Lintang hafal siapa pemiliknya. "Langit?"

"Loh? Kok tau, ini aku."

"Yakan, emang tahu. Sebelumya juga kan kamu pernah nelpon aku, jadi aku masih ingat suaramu kalau lagi nelpon," jelas Lintang. "Ponselnya ... Mau kamu ambil sekarang, atau besok aja?"

"Buat apa? Kan itu emang sengaja ku simpan disana biar kamu pakai. Biar aku gak susah juga kalau mau hubungin kamu."

"Eh gak perlu—"

"Jadi lebih baik aku langsung datang ke kamarmu gitu?"

Lintang mendesah. "Ya, gak gitu juga, Langiitt...."

"Terus aku harus gimana? Atau kamu maunya ponsel yang kupake ini?"

Kali ini Lintang memutar bola mata. Susah memang, bicara sama Laki-laki yang keras kepala. "Yaudah iya. Aku pake ini aja."

"Nah. Gitu kek dari tadi. Kalau gini kan gak sia-sia aku beri ponsel baru. Ngomong-ngomong, kenapa belum tidur?" untuk kedua kalinya, Langit menyuarakan pertanyaan yang sama.

"Ya, handphone ini bunyi. Gimana aku gak kebangun," Lintang sedikit berbohong.

"Ponselnya ku setel ke mode getar aja loh. Kok bisa dering?"

Nah, kan. Ketahuan. Lintang menggaruk kepalanya bingung. "Tapi tadi dering, kok." Oke, kita lanjutkan saja kebohongan ini. Siapa tahu Langit mau mengalah.

Lintang-Langit [OPEN PO]Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon