10.

112 24 10
                                        

Selamat membaca...

***

Seperti apa yang Elang janjikan sebelumnya, seusai makan dia meminta Lintang untuk belanja semua kebutuhannya. Dari mulai pakaian untuk sehari-hari, sampai perlengkapan untuk sekolah.

"Biar Mama aja ya yang nemenin dia, gak enak juga kan kalau pergi rame-rame," ujar Eelona yang sudah memegang bahu Lintang. "Langit juga, belanja aja sana deh. Siapa tahu ada sesuatu yang kamu butuhkan, biar Papa yang nemenin kamu." lanjutnya.

"Apasih, Ma. Ada juga Mama tuh sama Papa yang pergi nyari kebutuhan rumah tangga. Biar aku aja yang nemenin Lintang. Kan yang teman sekolahnya juga aku, jadi aku yang lebih tahu apa yang dibutuhkannya. Yakan Lin?"

Lintang tidak membenarkan, dengan menggeleng pelan. "Aku mending belanja sama Tante aja."

"Kok gitu sih? Kan disini yang kamu kenal cuma aku," protes Langit.

"Karena dia tahu, siapa yang pegang uang lebih banyak." Elang tersenyum miring, tanpa mengalihkan tatapannya dari layar ponsel. Laki-laki itu tengah memeriksa Email-email yang masuk.

"Aku juga punya banyak kali," balas Langit dengan nada sewot. Ia tidak terima dipermalukan seperti itu oleh sang Papa.

"Yaudah—iya. Yang lebih banyak uang, sana gih temenin Lintang belanja. Mulai dari pakaian dalam dulu ya. Biasanya, itu sih yang paling perempuan butuhkan." Eelona sangat yakin, kata tersebut akan membuat Langit menyerah dengan keinginannya.

"Oh. Oke—oke. Ayo, Lin.... Awwww! Apa sih, Ma. Sakit ini." Langit mengusap punggung tangan yang dipukul sang Mama.

"Kamu tuh yang apa. Pake acara oke-oke segala. Mama tuh ngomong kek tadi buat nakut-nakutin kamu aja, biar gak keras kepala nemenin Lintang belanja." Eelona mengakhir penjelasan dengan membuang napas, capek.

"Ya. Akunya gak takut, gimana dong?" tanya Langit dengan santainya.

"Ya harus takut do—"

"Bawa aja Ma, bawa. Papa udah gak tahan lagi denger ocehannya." Elang setengah mendorong Langit ke arah sang istri.

Meski diperlakukan seperti itu, Langit tetap tersenyum lebar. "Papa emang pahlawanku deh. Lop yuuuu, muah!"

Lintang dan Eelona, bergidik kompak. "Sabar ya, sayang. Jangan jijik. Maklum, anak tente baru akrab sama Papanya."

"Hehe ... Iya, Tan."

"Kita belanjanya, mau mulai dari apa dulu nih?" tanya Eelona, yang mulai melihat-lihat nama toko.

"Terserah Tante, aku ngikut aja."

"Dari daleman dulu dong. Kan tadi Mama juga bilang gitu." Tahu-tahu Langit sudah merangkul Lintang, mengalungkan tangannya pada pundak perempuan itu.

"Bisa gak sih, kalau ngomong tuh gak keras-keras. Malu tuh, dilihatin sama orang lain," kesal Eelona yang lagi-lagi melayangkan pukulan pelan pada lengan Langit.

"Iya—iya. Tapi gak usah sambil mukul juga kali, sakit nih. Lintang, tolong usapin dong...," Langit berucap manja di akhir kalimatnya.

"Langit! Jaga sikap, gak? Kasian itu Lintangnya, sampai meringis gitu."

"Eh, gak apa-apa kok Tante...."

"Tuh kan, dianya aja gak apa-apa." Langit mengejek sang Mama dengan memeletkan lidah.

"Mau Mama pukul lagi kamu?" Eelona balas melotot.

Bukannya takut, Langit malah semakin memepetkan badan pada Lintang. Dengan berujar, "lindungi aku, Lin ... Lindungi aku. Mamaku mulai galak."

Lintang-Langit [OPEN PO]Where stories live. Discover now