PROLOG

103K 2.8K 229
                                    

🌹

BAGAIMANA diri itu ingin mengusir pilu yang sedang kedap bertaut? Di tempat dia berdiri ketika itu, hening bergelimpangan di mana-mana. Melampar tidak terkutip.

Angin semilir berhembus dengan rintik-rintik hujan, terus menderu datang bersama-sama alunan jiwanya yang renyuh.

Tingkai hati begitu orak-arik. Irama bayu bagaikan memahami perasaannya ketika itu. Menggeluncur di celah-celah kepahitan dan keperitan detak rasanya.

Tanah kuburan yang merenggut seribu rasa sayang dan cintanya, menjamah ruang pandangnya kini. Dia tenggelam dalam lamunannya sendiri.

Merenung itu, terasa separuh jiwanya sudah mati. Terlepas pilu pada tarikan nafasnya sejurus itu. Seperti inikah kehilangan seseorang yang begitu bermakna dalam hidup? Akankah kepahitan lagi dan lagi datang untuk mendulang masa depannya?

Dirinya umpama dihimpit dengan amukan semesta. Begitulah juga atmanya yang terlanjur dihiris.

"Belajar untuk ikhlaskan. Langkah, rezeki dan maut semuanya ketentuan Allah. Setinggi apa pun keinginan kita, tetap Allah yang memutuskan."

Nasihat ibunya beberapa waktu lamanya sering kali menari-nari di ingatan. Dia faham. Dia tahu. Namun hatinya menolak semua kenyataan itu. Enggan untuk menelan pahitnya badai kehidupan. Langsung tidak mahu mencerna sebarang pencerahan.

Sepi.

Duka.

Hiba.

Semuanya datang menerpa. Umpama gulungan ombak yang datangnya dari samudera api. Bergulung-gulung memuntahkan bahangnya. Begitu ganas menumpahkan amarahnya.

Lantas, dengan siapa dirinya itu ingin berpaut? Dengan siapa kasihnya harus ditumpangkan? Dengan siapa cintanya akan ditebarkan? Semuanya sudah binasa.

Bukannya dia tidak mengikhlaskan. Namun, sekarang bukan waktunya. Dia perlukan ruang. Ruang untuk mengubati lara yang masih belum kering. Maha dalam rasa sakit yang dia rasakan.

"Kenapa Allah tarik semuanya daripada abang?"

Dia tidak menyalahkan takdir. Semuanya sudah yang tersusun untuknya. Tetapi kenapa? Kenapa harus dia yang menghadapi ini?

Dia tidak sekuat yang orang-orang bayangkan. Jika Allah takdirkan dirinya sebagai yang terpilih, sungguh dia tidak bermaya.

"Hari-hari abang terasa kosong bila sayang tak ada. Seandainya masa boleh diputar, abang nak tunaikan permintaan sayang." Tanpa sedar, sebak datang lagi. Sekeping gambar yang berada di tangannya kini menjadi tatapan sayunya.

Sudah lama rasa itu disimpan. Dan hari ini, dia tewas. Kekuatannya sudah luruh. Penantian adalah bahasa dusta yang paling dia bencikan kini.

Bagaimana keadaan orang yang paling dia cintai di alam sana? Dia belum sempat mendengar kalimah cinta meniti pada bibir mungil itu. Dia tidak sempat mendengar suara merdunya. Tidak juga sempat mendengar rengekan manjanya.

"Sayang selalu ajarkan abang cara untuk mencintai. Tapi sayang lupa ajarkan abang macam mana caranya hidup tanpa orang yang abang sayang," keluhnya.

Mata helang itu kembali menatap gerimis yang semakin kasar menjamah bumi. Maya sepertinya enggan berteman dengan kesedihannya. Semakin murung. Semakin hening.

"Sayang tidur lama sangat. Abang sunyi."

Lagi dan lagi dia meluah. Hanya semesta yang menjadi pendengarnya ketika itu.

"Abang hampir lupa macam mana manisnya senyuman sayang. Kenapa sayang tak jenguk abang dalam mimpi?" dia mengulum rintihan hati dalam sebaris nada sayu.

Tatkala senyuman mentari berlabuh pergi, kemudian menjemput fana merah jambu itu datang, senyuman Laura Humaira masih tidak terjengul. Di mana? Di mana bidadari seorang Azriel itu?

"Hari ni, dah genap empat puluh hari abang datang ke sini. Abang keseorangan."

Pilu nadanya dilantun.

Dan sudah pentan, penyesalannya kini sudah tidak terbendung lagi. Dia akhirnya menanggung seksanya sebuah kehilangan. Kasih yang sirna, namun asa yang anta permana.

Dia masih berharap. Masih menganggap penantiannya hanya dihambat dengan perjalanan yang berstagnasi. Angannya masih belum berhenti.

Senyuman dan bayangan wanita itu pasti akan kembali. Pasti. Dia yakin.

"Abang rindukan bidadari abang. Terkadang abang cemburu dengan malaikat yang menjadi peneman dalam lena sayang." Redup pandangannya.

Bahkan setitik tinta sekalipun, tidak dapat mengukir aksara, menuliskan rasa rindu yang mencengkam itu. Tidak boleh diutarakan dalam berbagai bentuk. Sekalipun itu melalui kata-kata melainkan doa.

"Hari ni, abang ada bawakan Mawar..." Senyuman  hambar terukir pada bibir Karl Azriel.

🌹

𝐌𝐚𝐰𝐚𝐫 𝐔𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐇𝐮𝐦𝐚𝐢𝐫𝐚Where stories live. Discover now