05 | Seblak Kematian

85 13 0
                                    


"Ini anakmu lho, Mbak. Kekeuh mau ngekos jare."

Makan malam tengah berlangsung. Lia hanya menunduk, berpura-pura fokus pada makanannya meski telinganya mendengar dengan jelas percakapan antara tante dan Ibunya di telepon.

"Biarin aja. Udah gede dia, udah bisa cari penghasilan sendiri. Kalo anaknya mau ngekos, aku sebagai Ibunya nggak akan melarang. Biarin dia belajar mandiri hidup sendiri."

Meski samar, ucapan Sang Ibu tetap terdengar sampai ke telinga Lia. Cewek itu bersyukur dalam hati sambil mengucapkan kalimat terima kasih tanpa henti.

Athalia sangat bersyukur memiliki Ibu yang penuh supportif seperti itu. Lia tidak pernah dikekang. Lia diberi kebebasan dalam menentukan jalan hidupnya mau seperti apa. Dengan kebebasan yang Ibunya berikan membuat Lia dapat berprilaku baik tanpa memiliki kebohongan yang harus dia tunjukkan di hadapan Ibunya.

"Tapi Lia perempuan. Lebih bagus kalo dia tinggal di sini saja." Tantenya masih bersikeras agar Lia tetap tinggal di rumahnya itu.

"Oh, nggak usah. Dengan keinginan Lia yang ingin ngekos itu malah bagus. Dia nggak perlu ngerepotin kamu. Lia anak yang mandiri dan bisa jaga dirinya sendiri."

Tantenya beralih menatap Lia. Sementara itu, Lia tidak menatap balik ke arah tantenya yang sedang memperhatikannya itu. Dia memasang tampang cuek dan lebih fokus pada makanan di piringnya.

"Jaman sekarang bahaya untuk anak perempuan tinggal sendiri apalagi di kota orang. Bagus di sini ada yang mengawasi."

Ibu malah tertawa di seberang telepon. "Yu, denger. Anakku juga butuh sebuah privasi. Biarkan dia memilih jalan hidupnya seperti apa. Tahun ini dia menginjak usia 23 tahun, aku sebagai ibunya malah bangga kalau dia sudah bisa membawa hidupnya sendiri tanpa bayang-bayang ibunya. Kamu sebagai tantenya nggak perlu khawatir. Lia nggak sama seperti Indah yang malah bikin malu nama keluarga."

Telak. Serentetan kalimat panjang yang disampaikan oleh Ibu membuat sang Tante bungkam.

Lia tumbuh di lingkungan yang mana hal-hal nakal sudah dianggap biasa. Tapi dengan didikan yang Ibunya berikan, Lia tidak terjerumus ke dalam hal itu. Berbeda dengan salah satu anggota keluarga besarnya yang tumbuh di lingkungan keluarga yang amat menjunjung tinggi unggah-ungguh justru membuat aib yang mempermalukan keluarga Atmodjo.

"Yowes nek ngono. Harapanku Lia ora nglakoni tindakan seng ora bener."

Percakapan keduanya dilanjut dengan pembahasan lainnya.

Makanan di piring Lia juga sudah habis. Dia berdiri dan berjalan menuju tempat cucian piring untuk mencuci piring bekas makannya. Dengan senyum tipis yang tercetak di wajahnya, Lia merasa senang. Akhirnya kesempatan itu dia dapatkan.

"Mbak, beneran mau ngekos?" Arka sang adik sepupunya bertanya menghampiri.

Lia mengangguk pelan sambil menaruh piring yang sudah dia cuci ke rak piring. "Iya, masa bohongan si, Ka."

"Aku ada salah ya, ke Mbak Atha? Makanya Mbak Atha nggak betah tinggal di sini?"

Alis cewek itu terangkat sebelah. "Nggak ada, kok. Kan kamu juga sibuk kuliah. Kita jarang interaksi juga, kan?"

"Nek misal ada ucapanku yang menyinggung Mbak Atha, aku minta maaf, ya."

Tangan Lia terulur lalu menepuk pundak Arka pelan. "Nggak, kok. Nggak perlu minta maaf. Aku mau ngekos ya, murni keinginan aku buat tinggal sendiri. Aku nggak mau ngerepotin Tante juga."

"Nanti kalo semisal Mbak ada perlu sesuatu, telepon aku, ya? Siapa tau bisa bantu Mbak Atha."

Lia jadi tersenyum. Dari sepupunya yang lain, hanya Arka yang paling dekat dengannya. Jarak umur mereka hanya terpaut 2 tahun.

Kosan 210Where stories live. Discover now