14 | Hari-hari Hujan

46 8 0
                                    

Where were we

And all the things I said I could’ve done

They cut the trees

And drew the ocean for soil and run

And, oh, I don’t know what to do

I don’t know how to change their point of view

—Alivan Blu, Changes.

***

Sinar matahari yang terik perlahan meredup terganti oleh sekumpulan awan hitam yang bergerak tertiup angin. Jendela yang sedari tadi terbuka mengeluarkan embusan angin lembab, tanda hujan akan segera turun.

Naufal mengernyit, merasa terganggu bukan karena angin akan tetapi ponselnya yang sedari tadi bergetar menampilkan panggilan masuk.

Masih dengan mata yang belum sepenuhnya terbuka, Naufal meraih ponselnya yang dia letakkan tepat di sebelah bantal untuk tidurnya. Ada panggilan tak terjawab dari sang Bunda.

Alih-alih menjawab pesan tersebut, Naufal memilih untuk segera menelpon Bundanya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Alih-alih menjawab pesan tersebut, Naufal memilih untuk segera menelpon Bundanya. Matanya melirik ke arah jendela, terlihat awan mendung sudah memenuhi langit. Akhir-akhir ini, Jogja kerap diguyur hujan deras pada sore hari.

"Assalamualaikum, Bund. Abang baru bangun, jadi langsung telepon, malas ngetik juga."

Bunda berdecak dari seberang sana. "Waalaikumussalam, ashar dulu baru kamu telepon Bunda."

Naufal terkekeh. "Tadi aku habis bimbingan, terus kecapekan jadi habis pulang langsung tidur. Ini baru bangun, Bunda."

"Iyo, shalat dulu sana, Bang. Selesai tu baru telepon Bunda lagi."

"Oke, Bunda."

Setelah mematikan teleponnya, Naufal beranjak dari tempat tidur dan bergegas untuk mengambil air wudhu. Waktu sudah menunjukkan pukul 16.20 maka dari itu dia mempercepat langkahnya menuju kamar mandi.

Sayup-sayup terdengar suara musik dari dalam kamar milik Devan. Naufal berinisiatif mengetuk pintu kamar tersebut, untuk memastikan temannya itu memang berada di dalam kamarnya.

"Masuk aja, kagak gue kunci." Devan berteriak dari dalam kamarnya.

Naufal membuka pintu itu setelah mendapat persetujuan dari Devan. Dia cukup kaget melihat pemandangan yang dari kamar Devan yang tidak biasanya.

"Berantakan bener."

Devan ikut melirik ke arah pandangan Naufal tertuju. "Puyeng gue soalnya. Belom sempet ngeberesin. Baru bangun lo?"

Naufal mengangguk. "Iya, gue kira pada pergi. Sepi amat perasaan." 

"Kagak. Pada di kamar masing-masing. Si Farris baru tidur tadi abis shalat ashar."

Kosan 210Where stories live. Discover now